Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Menonton Film Sedih Justru Bikin Kita Bahagia? Sains Jelaskan

Kompas.com - 16/06/2019, 17:02 WIB
Julio Subagio,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Menonton film atau serial menjadi salah satu aktivitas pilihan yang boleh dibilang, rutin dilakukan sebagian besar orang kala senggang, sambil beristirahat di akhir pekan.

Salah satu film yang memiliki banyak penggemar mungkin kisah bertema sedih nan tragis tanpa happy ending.

Terkadang mungkin ada perasaan menyesakkan setelah menikmati suatu kisah sedih, namun entah bagaimana kita ingin mengulangi perasaan seperti itu lagi dengan menikmati kisah sedih dan tragis lain.

Menurut ahli Oxford, tak ada salahnya kita menonton film sedih. Dari segi kesehatan mental, hal ini justru memberi berbagai manfaat dan dapat membangun kedekatan terhadap orang di sekitar kita.

Baca juga: Seberapa Faktualkah Perjalanan Waktu seperti di Film Sci-Fi?

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robin Dunbar, ahli psikologi evolusioner dari University of Oxford, kepedihan emosional yang didapat pasca menonton tragedi, dapat memicu pelepasan hormon endorfin.

Endorfin adalah hormon yang diproduksi oleh otak dan sistem saraf, yang dapat bertindak sebagai analgesik dan meningkatkan toleransi tubuh terhadap rasa sakit.

Produksi endorfin setelah kita menyaksikan cerita tragis dapat mendorong kita mengalami kelegaan dan kebahagiaan, serta membuat kita lebih kebal terhadap rasa sakit secara fisik.

Studi yang dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science ini dilakukan dengan membagi partisipan untuk menonton dua film yang berbeda.

Kelompok pertama diajak menonton Stuart: A Life Backwards, film tentang seorang tunawisma yang menghadapi kecanduan obat terlarang dan alkohol. Kelompok kedua menonton film dokumenter non drama, yaitu The Museum of Life tentang London Natural Museum dan Landscape Mysteries tentang seluk beluk geologi-arkeologi Irlandia.

Sebelum dan sesudah menonton, dua macam tes dilakukan terhadap seluruh partisipan.

Tes pertama mengukur kedekatan tiap orang dengan partisipan lain, sedangkan tes kedua menguji sensitivitas tiap partisipan terhadap rasa sakit melalui prosedur Roman chair. Dalam prosedur ini, peserta mengambil posisi seperti duduk menyandar ke dinding, tapi tanpa kursi.

Kondisi ini akan memunculkan rasa panas dan nyeri di otot kaki, yang dapat dikurangi lewat pelepasan hormon endorfin.

Hasilnya, kelompok penonton Stuart: A Life Backwards mampu melakukan Roman chair lebih lama ketimbang mereka sendiri sebelum menonton, serta ketimbang kelompok kedua penonton dokumenter non drama.

Dilaporkan pula dalam kelompok ini, setiap partisipan menjadi lebih dekat satu sama lain karena telah mengalami perasaan sedih secara kolektif.

Baca juga: Posesif, Bagaimana agar Kisah dalam Film Itu Tak Terjadi pada Anda?

Sebuah studi serupa di tempat lain juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau