KOMPAS.com – Menonton film atau serial menjadi salah satu aktivitas pilihan yang boleh dibilang, rutin dilakukan sebagian besar orang kala senggang, sambil beristirahat di akhir pekan.
Salah satu film yang memiliki banyak penggemar mungkin kisah bertema sedih nan tragis tanpa happy ending.
Terkadang mungkin ada perasaan menyesakkan setelah menikmati suatu kisah sedih, namun entah bagaimana kita ingin mengulangi perasaan seperti itu lagi dengan menikmati kisah sedih dan tragis lain.
Menurut ahli Oxford, tak ada salahnya kita menonton film sedih. Dari segi kesehatan mental, hal ini justru memberi berbagai manfaat dan dapat membangun kedekatan terhadap orang di sekitar kita.
Baca juga: Seberapa Faktualkah Perjalanan Waktu seperti di Film Sci-Fi?
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Robin Dunbar, ahli psikologi evolusioner dari University of Oxford, kepedihan emosional yang didapat pasca menonton tragedi, dapat memicu pelepasan hormon endorfin.
Endorfin adalah hormon yang diproduksi oleh otak dan sistem saraf, yang dapat bertindak sebagai analgesik dan meningkatkan toleransi tubuh terhadap rasa sakit.
Produksi endorfin setelah kita menyaksikan cerita tragis dapat mendorong kita mengalami kelegaan dan kebahagiaan, serta membuat kita lebih kebal terhadap rasa sakit secara fisik.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science ini dilakukan dengan membagi partisipan untuk menonton dua film yang berbeda.
Kelompok pertama diajak menonton Stuart: A Life Backwards, film tentang seorang tunawisma yang menghadapi kecanduan obat terlarang dan alkohol. Kelompok kedua menonton film dokumenter non drama, yaitu The Museum of Life tentang London Natural Museum dan Landscape Mysteries tentang seluk beluk geologi-arkeologi Irlandia.
Sebelum dan sesudah menonton, dua macam tes dilakukan terhadap seluruh partisipan.
Tes pertama mengukur kedekatan tiap orang dengan partisipan lain, sedangkan tes kedua menguji sensitivitas tiap partisipan terhadap rasa sakit melalui prosedur Roman chair. Dalam prosedur ini, peserta mengambil posisi seperti duduk menyandar ke dinding, tapi tanpa kursi.
Kondisi ini akan memunculkan rasa panas dan nyeri di otot kaki, yang dapat dikurangi lewat pelepasan hormon endorfin.
Hasilnya, kelompok penonton Stuart: A Life Backwards mampu melakukan Roman chair lebih lama ketimbang mereka sendiri sebelum menonton, serta ketimbang kelompok kedua penonton dokumenter non drama.
Dilaporkan pula dalam kelompok ini, setiap partisipan menjadi lebih dekat satu sama lain karena telah mengalami perasaan sedih secara kolektif.
Baca juga: Posesif, Bagaimana agar Kisah dalam Film Itu Tak Terjadi pada Anda?
Sebuah studi serupa di tempat lain juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda.
Silvia Knobloch Westerwick, seorang pakar komunikasi, bersama koleganya di Ohio State University melaporkan, menyaksikan tragedi bisa meningkatkan perasaan bahagia dalam jangka waktu tertentu.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Communication Research ini melibatkan 361 mahasiswa untuk menonton film Atonement, mengisahkan sepasang kekasih yang terpisah dan meninggal akibat kekerasan saat perang.
Sebelum dan sesudah menonton, tiap partisipan diminta menjawab pertanyaan untuk mengukur tingkat kebahagiaan dan kepuasan atas hidup masing-masing.
Pasca menonton, partisipan diminta untuk menilai film tersebut dan menulis mengenai bagaimana efek film terhadap refleksi diri, tujuan hidup, hubungan dan kehidupan mereka secara umum.
Hasilnya, partisipan yang merasa sedih saat menonton cenderung menulis mengenai orang terdekat mereka.
"Manusia cenderung menggunakan tragedi untuk merefleksikan hubungan yang dianggap penting dalam kehidupan masing-masing. Ini dapat menjelaskan mengapa kisah tragis sangat populer, meski memancing kesedihan," terang Westerwick.
Wasterwick juga menguji hipotesis apakah orang merasa lebih bahagia setelah menonton film tragedi karena membandingkan dengan pengalaman pribadi, hingga pada akhirnya mendorong seseorang lebih mensyukuri hidup. Namun, hipotesis tersebut tidak dapat dibuktikan.
"Kisah tragedi tidak membuat penonton memikirkan kehidupannya sendiri. Namun, kisah seperti ini memiliki daya tarik karena dapat membantu seseorang mengapresiasi hubungan sosial dengan orang lain," lanjutnya.
Westerwick menjelaskan, temuan ini sesuai dengan berbagai riset di bidang psikologi yang menunjukkan perasaan negatif akan membuat orang lebih memaknai kehidupan.
"Emosi positif umumnya menandakan bahwa segala sesuatu baik-baik saja, sehingga kita tidak perlu khawatir mengenai permasalahan hidup," ujarnya.
"Namun emosi negatif, seperti kesedihan, dapat membuat anda berpikir lebih kritis mengenai situasi yang dihadapi. Jadi, menonton film mengenai pasangan yang harus berpisah akibat situasi yang tidak menguntungkan mungkin membuat anda sedih, tapi hal itu juga mendorong anda untuk lebih memikirkan dan mengapresiasi hubungan pribadi," tutupnya.
Baca juga: 27 Steps of May, Bagaimana Mestinya Hadapi Korban Kekerasan Seksual?
Jadi, apakah Anda akan meluangkan waktu untuk menonton film tragis bersama pasangan akhir pekan ini?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.