KOMPAS.com – Narkoba bisa membuat seseorang kehilangan segalanya. Kalimat ini sangat nyata bagi Pasien Nomor Satu yang hanya ingin diidentifikasikan sebagai Yan.
Pria kurus dengan wajah berkoreng itu merupakan salah satu partisipan dalam uji klinis pertama penggunaan deep brain stimulation (DBS) untuk menangani kecanduan sabu-sabu yang diadakan di Rumah Sakit Ruijin, Shanghai, China.
Dalam uji klinis tersebut, para dokter membuat dua lubang di kepala Yan dan memasukkan alat yang akan menstimulasi bagian tertentu dari otaknya menggunakan listrik.
Berbicara dengan Associated Press 72 jam sebelum operasi, Yan mengungkapkan alasannya nekat menjalani operasi tersebut. Yan bercerita bahwa sejak diajak temannya mengonsumsi sabu-sabu dan menjadi kecanduan akan zat narkoba tersebut, dia telah kehilangan segalanya.
Baca juga: Mengenal ECT, Terapi Kejut Listrik untuk Pasien yang Ingin Bunuh Diri
Pertama adalah uang. Menggunakan sabu-sabu membuat Yan merasa lebih fokus, yang kemudian ia gunakan untuk berjudi dengan kartu. Setiap kali Yan menggunakan narkoba tersebut, ia pun selalu berjudi, dan kalah setiap kalinya. Sejak menggunakan zat tersebut, Yan mengaku telah kehilangan 150.000 dollar AS atau sekitar Rp 2 miliar.
Menyusul berikutnya adalah istrinya yang menceraikan Yan dan membawa pergi putra satu-satunya. Sejak perceraiannya, Yan jarang melihat anaknya.
Yan sebetulnya sudah berusaha untuk menghentikan kecanduannya dengan metode lain, mulai dari detoks di rumah sakit, pindah kota untuk menjauh dari teman-temannya, sampai menjalani pengobatan tradisional China. Namun, semuanya gagal dan Yan kembali tenggelam dalam narkoba.
Akhirnya pada tahun lalu, ayahnya memberinya ultimatum: masuk rehabilitasi lagi atau menjalani operasi. Rupanya, sang ayah mempunyai seorang teman yang baru saja menjalani operasi DBS di Ruijin.
“Tentu saja, aku pilih operasi. Dengan operasi, aku pasti akan mendapatkan kehidupan kembali,” ujar Yan saat itu dengan lutut yang tak bisa diam sejak awal wawancara.
Baca juga: Pendekatan Radikal Kedokteran, Gunakan Aliran Listrik sebagai Obat
Berisiko
DBS merupakan pengganti prosedur operasi otak ablatif yang dulunya sering digunakan di China untuk menangani kecanduan. Pada 2014, Menteri Kesehatan China menghentikan prosedur tersebut karena dianggap terlalu berisiko. Perlu diketahui, operasi otak ablatif menghancurkan sebagian kecil dari jaringan otak.
Menurut laporan oleh rumah sakit militer di Xi’an, metode ini mampu membuat setengah dari 1.167 pasien yang menjalaninya berhenti menggunakan narkoba setidaknya lima tahun. Namun, prosedur ini juga diketahui menyebabkan gangguan mood, kehilangan ingatan hingga perubahan dorongan seksual.
Nah, DBS yang selama ini digunakan untuk menangani pasien dengan penyakit Parkinson dianggap bisa menjadi alternatif yang lebih aman daripada prosedur tersebut. Pasalnya, tidak seperti operasi otak ablatif yang secara permanen merusak sel otak, efek DBS pada otak–setidaknya secara teori-bisa dikembalikan seperti semula.
Namun, faktanya DBS juga memiliki risiko sendiri, walaupun kemungkinannya kecil. Pasien yang menjalani DBS bisa mengalami perubahan kepribadian, kejang-kejang, infeksi atau bahkan meninggal karena pendarahan otak. Lalu, kalaupun tidak mengalami risiko tersebut, DBS belum dijamin akan bisa mengobati seseorang dari kecanduannya.
Baca juga: Peneliti Buat Implan Setipis Rambut Untuk Sembuhkan Penyakit Otak
Yan menjalani operasi tersebut pada pukul 9.00 pagi di bulan Oktober tahun lalu dalam keadaan sadar. Dia gemetar mendengarkan bunyi bor yang membuat lubang di kepalanya agar para dokter bisa memasukkan dua elektroda ke nucleus accumbennya, struktur kecil di dekat bagian dasar otak depan yang diduga menyebabkan adiksi.