KOMPAS.com - Mungkinkah di matahari turun hujan? Jika iya, apakah hujan di sana juga berupa tetesan air?
Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah para ilmuwan NASA mendeteksi kemunculan "hujan plasma" mengalir di permukaan matahari.
Hujan yang tentunya bukan berupa air itu akhirnya dapat menjelaskan mengapa atmosfer di permukaan matahari lebih panas dibanding permukaan bintang.
Kalau hujan di Bumi jatuh ke tanah berupa air, maka hujan di matahari bentuknya lebih mirip roda berputar dan berupa tetesan plasma panas yang jatuh dari atmosfer luar matahari (korona) ke bawah menuju permukaan bintang.
Baca juga: Demi Atasi Polusi Udara, Korsel Ingin Kerja Sama dengan China Bikin Hujan Buatan
Meski memiliki bentuk berbeda, data baru yang dikumpulkan teleskop resolusi tinggi Solar Dynamics Observatory NASA menunjukkan bahwa hujan plasma di korona cara kerjanya mirip dengan hujan di Bumi, hanya ada beberapa pengecualian.
Bedanya dengan hujan di Bumi, hujan plasma matahari memiliki suhu sangat panas yang mencapai mencapai jutaan derajat Celsius.
Selain sangat panas, plasma merupakan gas bermuatan listrik dan dapat melacak garis-garis medan magnet atau loop yang muncul di permukaan matahari.
Melansir Space.com, Selasa (16/4/2019), para ahli menemukan bahwa suhu plasma bisa mencapai 1 juta derajat Celsius. Plasma super panas ini dapat memperluas area loop dan berkumpul di struktur puncak.
Ketika plasma mendingin, ia akan mengembun dan gravitasi menariknya ke bawah menciptakan hujan di korona.
Sebelumnya para ilmuwan terus mencari tanda tentang hujan korona dalam fitur lebih besar, loop-magnetik-loop alias helmet streamers yang membentang jutaan mil di permukaan matahari. Para peneliti menargetkan bidang itu karena meyakini helmet streamers merupakan salah satu sumber angin matahari lambat.
"Loop-loop ini jauh lebih kecil dibanding yang kami cari," ujar Spiro Antiochos, rekan peneliti sekaligus ahli fisika matahari dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland.
"Hal ini memberi tahu kami bahwa pemanasan korona jauh lebih lokal daripada yang kami pikirkan," imbuhnya.
Oleh sebab itu, temuan para ahli yang terbit di The Astrophysical Journal Letters edisi Jumat (5/4/2019) menjelaskan tentang sumber angin matahari yang lambat dan proses pemanasan korona.
"Jika sebuah lingkaran memiliki hujan korona di atasnya, itu berarti 10 persen atau kurang bagian di bawahnya adalah tempat di mana pemanasan korona terjadi," sambung Emily Mason, rekan penulis studi dan mahasiswa pascasarjana di The Catholic University of America, Washington, DC.
Para peneliti mengidentifikasi tinggi hujan plasma bisa mencapai 48.000 kilometer.