Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Matahari Juga Bisa "Hujan", Begini Penampakannya

Kompas.com - 16/04/2019, 08:31 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber SPACE.COM


KOMPAS.com - Mungkinkah di matahari turun hujan? Jika iya, apakah hujan di sana juga berupa tetesan air?

Pertanyaan ini akhirnya terjawab setelah para ilmuwan NASA mendeteksi kemunculan "hujan plasma" mengalir di permukaan matahari.

Hujan yang tentunya bukan berupa air itu akhirnya dapat menjelaskan mengapa atmosfer di permukaan matahari lebih panas dibanding permukaan bintang.

Kalau hujan di Bumi jatuh ke tanah berupa air, maka hujan di matahari bentuknya lebih mirip roda berputar dan berupa tetesan plasma panas yang jatuh dari atmosfer luar matahari (korona) ke bawah menuju permukaan bintang.

Baca juga: Demi Atasi Polusi Udara, Korsel Ingin Kerja Sama dengan China Bikin Hujan Buatan

Meski memiliki bentuk berbeda, data baru yang dikumpulkan teleskop resolusi tinggi Solar Dynamics Observatory NASA menunjukkan bahwa hujan plasma di korona cara kerjanya mirip dengan hujan di Bumi, hanya ada beberapa pengecualian.

Bedanya dengan hujan di Bumi, hujan plasma matahari memiliki suhu sangat panas yang mencapai mencapai jutaan derajat Celsius.

Selain sangat panas, plasma merupakan gas bermuatan listrik dan dapat melacak garis-garis medan magnet atau loop yang muncul di permukaan matahari.

Melansir Space.com, Selasa (16/4/2019), para ahli menemukan bahwa suhu plasma bisa mencapai 1 juta derajat Celsius. Plasma super panas ini dapat memperluas area loop dan berkumpul di struktur puncak.

Ketika plasma mendingin, ia akan mengembun dan gravitasi menariknya ke bawah menciptakan hujan di korona.

Sebelumnya para ilmuwan terus mencari tanda tentang hujan korona dalam fitur lebih besar, loop-magnetik-loop alias helmet streamers yang membentang jutaan mil di permukaan matahari. Para peneliti menargetkan bidang itu karena meyakini helmet streamers merupakan salah satu sumber angin matahari lambat.

"Loop-loop ini jauh lebih kecil dibanding yang kami cari," ujar Spiro Antiochos, rekan peneliti sekaligus ahli fisika matahari dari Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland.

"Hal ini memberi tahu kami bahwa pemanasan korona jauh lebih lokal daripada yang kami pikirkan," imbuhnya.

Oleh sebab itu, temuan para ahli yang terbit di The Astrophysical Journal Letters edisi Jumat (5/4/2019) menjelaskan tentang sumber angin matahari yang lambat dan proses pemanasan korona.

"Jika sebuah lingkaran memiliki hujan korona di atasnya, itu berarti 10 persen atau kurang bagian di bawahnya adalah tempat di mana pemanasan korona terjadi," sambung Emily Mason, rekan penulis studi dan mahasiswa pascasarjana di The Catholic University of America, Washington, DC.

Para peneliti mengidentifikasi tinggi hujan plasma bisa mencapai 48.000 kilometer.

"Kami masih belum tahu persis apa yang memanaskan korona, tapi kami yakin itu terjadi di lapisan ini," ujar Mason.

Baca juga: Jangan ke Luar Negeri Akhir Tahun Ini, Gerhana Matahari Cincin Bakal Sapa Indonesia

Temuan baru ini juga mengidentifikasi kemungkinan hubungan antara loop magnetik yang lebih kecil dan angin matahari yang lambat.

Secara khusus, pengamatan tim menunjukkan bahwa hujan korona juga dapat berkembang pada garis medan magnet terbuka, bukan hanya pada loop tertutup, seperti yang dipikirkan oleh para peneliti sebelumnya.

Salah satu ujung garis medan magnet terbuka ini mengarah ke luar angkasa, di mana plasma bisa lolos ke angin matahari.

Para peneliti berencana untuk mempelajari struktur loop magnetik yang lebih kecil menggunakan Parker Solar Probe milik NASA, yang diluncurkan pada 2018 dan telah melakukan perjalanan lebih dekat ke matahari daripada pesawat ruang angkasa lainnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau