KOMPAS.com - Anda tentu sudah tidak asing dengan gerakan mematikan lampu selama satu jam di hari sabtu bulan Maret, bukan? Gerakan ini lebih dikenal dengan istilah Earth Hour.
Tahun ini, Earth Hour jatuh pada 30 Maret 2019. Tepatnya, peringatan ini dilakukan selama pukul 20.30 hingga 21.30 waktu setempat.
Melansir dari laman WWF Indonesia via GRID.id, setiap 10 persen dari warga Jakarta yanh turut mematikan lampu saat Earth Hour, energi yang dihemat bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan listrik di 900 desa dan menyediakan oksigen untuk 534 orang.
Selain itu, mematikan lampu selama satu jam juga dapat mengurangi 267 ton emisi karbon dioksida (CO2).
Baca juga: Earth Hour, Kegelapan di Ikon Kota Besar Dunia untuk Selamatkan Bumi
Peringatan Earth Hour sendiri merupakan pangkal dari keprihatinan warga dunia adanya perubahan iklim di bumi yang nyaris tak bisa dihindari.
Namun, selain dengan tindakan dari kita, mengurangi emisi gas rumah kaca bisa dilakukan dengan mengganti energi fosil pada energi-energi lain.
Kompas.com mecatat setidaknya ada 4 sumber energi yang bisa digunakan untuk menggantikan energi dari bahan bakar fosil.
Para peneliti menyatakan bahwa hampir tiga perempat negara di dunia dapat menggunakan energi terbarukan pada tahun 2050. Estimasi itu dibuat oleh sekitar 30 ilmuwan berdasarkan kemampuan 139 negara untuk beralih secara 100 persen, dari bahan bakar fosil ke energi angin, air, dan tenaga surya.
"Temuan kami menunjukkan bahwa manfaatnya sangat besar sehingga kita seharusnya mempercepat transisi ke angin, air, dan matahari, dan menghentikan sistem bahan bakar fosil di mana saja yang kita bisa," kata salah satu anggota tim, Mark Delucchi dari University of California, Berkeley.
Dilansir dari Science Alert 24 Agustus 2017, para ilmuwan mencatat perubahan penggunaan energi akan menciptakan 24 juta lapangan pekerjaan baru. Penguranan energi fosil juga dapat mengurangi angka kematian prematur akibat polusi udara sebesar 4,6 juta korban jiwa setiap tahunnya.
Baca selengkapnya: 139 Negara Diperkirakan Mampu Tinggalkan Energi Fosil pada 2050
Tak hanya mengurangi angka kematian prematur, pengunaan energi dari panel surya dan ladang angin juga bisa mengubah Gurun Sahara menjadi hijau.
Para ilmuwan memperkirakan kedua struktur tersebut bisa membawa hujan ke padang pasir. Itu berarti bisa memperbaiki kondisi beberapa wilayah paling tidak ramah di dunia tersebut.
Mereka yakin dengan menyusun sejumlah besar turbin angin dan panel surya di Gurun Sahara bisa mengubah reflektifitas tanah dan pergerakan arus udara.
Dalam laporan di jurnal Science, para peneliti menyebut bahwa ladang angin akan mencampur udara yang lebih hangat dari atas dengan yang lebih dingin di bawah.
Selain itu, panel surya akan mencegah sinar matahari agar tidak dipantulkan kembali ke atmosfer.
Efek-efek tersebut memiliki potensi untuk mengubah iklim lokal. Studi ini dilakukan para peneliti untuk memahami implikasi dari penggunaan energi terbarukan pada perubahan iklim yang terjadi.
Baca selengkapnya: Peneliti Sebut Gurun Sahara Bisa Menghijau, Asal...
Dalam sebuah esai di The Wall Street Journal, pakar energi Sataffan A Qvist dan ahli politik Joshua S Goldstein menyebut bahwa penggunaan panel surya dan turbin angin masih sulit menghentikan dampak dari perubahan iklim dan pemanasan global.
Menurut mereka berdua, cara yang layak untuk menghindari bencana iklim adalah menggunakan energi nuklir.
Mereka mengatakan, bahkan jika setiap negara menerapkan energi terbarukan seperti Jerman (pemimpin dunia dalam bidang ini), kita hanya bisa mencapai sekitar 20 persen dari target global untuk litrik ramah lingkungan.
Pada tingkat tersebut, Goldstein dan Qvist menyebut, akan diperlukan 150 tahun untuk sepenuhnya membersihkan karbon di Bumi.
Sayangnya, para ilmuwan iklim memperkirakan manusia hanya punya waktu 30 tahun sebelum Bumi mencapai titik kritisnya.
"Apa yang dibutuhkan dunia adalah sumber listrik bebas karbon yang dapat ditingkatkan hingga skala besar dan sangat cepat serta menyediakan daya andal setiap saat, terlepas dari kondisi cuaca - semuanya tanpa memperluas area total untuk pembangkit listrik," tulis Goldstein dan Qvist dikutip dari Futurism, Senin (14/01/2019).
"Tenaga nuklir memenuhi semua persyaratan itu," tegas mereka.
Baca selengkapnya: Pakar Sebut Hanya Ada Satu Jenis Energi yang Bisa Selamatkan Bumi
Sumber daya listrik menjadi hal yang sangat penting sekarang. Sila bercermin pada diri Anda sendiri. Ketika membaca artikel ini, Anda menggunakan energi listrik dari yang disediakan oleh baterai smartphone atau laptop Anda.
Tidak hanya perkotaan, daerah terpencil pun sebenarnya sangat memerlukan energi listrik. Bahkan jika berada pada posisi orang yang tinggal di wilayah terpencil, listrik menjadi suatu hal yang berharga dan istimewa bagi mereka.
Hal ini mungkin yang menginspirasi Seokheun (Sean) Choi, PhD, untuk menciptakan penyimpan daya yang fleksibel, murah, dan tidak biasa.
Seperti dilansir dari Science Daily, Selasa (21/08/2018), Choi membuat sebuah terobosan dengan menciptakan sebuah penyimpan daya berukuran kertas yang dibangkitkan oleh bakteri.
"Kertas memiliki keunggulan unik sebagai bahan untuk biosensor. Ini murah, sekali pakai, fleksibel dan memiliki luas permukaan yang besar. Namun, sensor canggih membutuhkan sumber daya. Baterai komersial terlalu boros dan mahal, dan mereka tidak dapat diintegrasikan ke dalam kertas. Solusi terbaik adalah baterai biologis berbahan baku kertas," jelas Choi.
Baca selengkapnya: Terobosan Baru, Ilmuwan Ciptakan Pembangkit Listrik Bertenaga Bakteri
Potensi laut yang perlu dimanfaatkan bukan hanya perikanan, melainkan juga energi laut yang berpeluang menghasilkan listrik untuk kebutuhan nasional.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan kelompok ahli bertema "Peran Iptek dalam Pembangunan Maritim" yang diselenggarakan di Universitas Surya, Jumat (29/8/2014).
Dalam diskusi, Son Diamar, mantan Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Maritim dan Tata Ruang, Deputi V UP4B, mengatakan, potensi energi laut Indonesia sangat besar.
"Baling-baling ditenggelamkan di laut saja bisa jadi listrik, bisa menerangi se-Asia Tenggara," kata Son Diamar.
Son menggambarkan bahwa arus laut Indonesia yang merupakan pertemuan Pasifik dan Hindia merupakan sumber daya energi terbarukan yang sangat potensial.
Dwi Susanto dari Pusat Riset dan Pendidikan Universitas Surya mengungkapkan, energi dari arus bukanlah satu-satunya. Energi pasang surut pun bisa dimanfaatkan.
Dwi yang juga mengajar di Departemen Atmosfer dan Kelautan Universitas Maryland, Amerika Serikat, mengatakan telah meneliti sejumlah selat di Indonesia.
"Energi pasang surut di selat-selat sempit itu besar, bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik," ungkapnya.
Baca selengkapnya: Jika Dikembangkan, Laut Indonesia Bisa Pasok Kebutuhan Listrik Se-Asia Tenggara
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.