Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Virus Dengue DBD Juga Berevolusi, Apa Bedanya Sekarang dan Dulu?

Kompas.com - 30/01/2019, 17:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Sama halnya seperti organisme, virus dengue juga berevolusi secara alami.

R. Tedjo Sasmono, peneliti senior nyamuk dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Kemenristekdikti mengatakan, hal itu merupakan salah satu ciri virus RNA yang cepat mengalami mutasi.

"Akan tetapi mutasi virus dengue tidak selalu menyebabkan virulensi," ujar Tedjo melalui surel kepada Kompas.com, Selasa (29/1/2019).

Baca juga: Teknik Serangga Mandul Diklaim Ampuh Usir Nyamuk DBD, Seberapa Manjur?

Dia menambahkan, hal itu karena ada teori kompensasi di mana virus harus "mengatur" virulensinya supaya tidak membunuh inangnya.

Apabila banyak inang yang mati, maka penyebaran virus itu sendiri akan terhambat.

Virulensi virus dengue karena variasi genetik sebelumnya pernah dilaporkan di Amerika Latin saat terjadi introduksi virus dengue dari Asia ke daerah tersebut. Wabah yang terjadi saat itu menyebabkan keparahan penyakit di Amerika Latin.

"Namun sejauh pengetahuan kami yang meneliti genetika virus dengue di Indonesia, kami belum berhasil menemukan mutasi virus dengue yang menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit di Indonesia," imbuh Tedjo.

Dr Syahribulan, M.Si., peneliti nyamuk dari Departemen Biologi Universitas Hasanuddin menambahkan, saat ini virus dengue yang dikenali ada empat strain, yakni Den-1, Den-2, Den-3, dan Den-4.

Infeksi salah satu strain atau serotipe akan menimbulkan antibodi serotipe lain berkurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai.

Sayangnya, orang yang tinggal di lingkungan endemik dengue dapat dengan mudah terinfeksi tiga atau empat serotipe sepanjang kehidupan.

"Kalaupun ada strain baru (Den-5) di alam, (keberadaannya) belum terungkap," kata Syahribulan melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Rabu (30/1/2019).

Apakah gejalanya berbeda?

Meski berevolusi, gekala keparahan penyakit dengue pada dasarnya sama seperti di masa lalu.

"Mungkin memang jumlah pasien parah lebih banyak, namun secara klinis seharusnya akan sama gejalanya, hanya mungkin tingkat keparahan akan lebih tinggi," terang Tedjo.

Karena gejala yang muncul sama, penanganan DBD juga pada dasarnya sama seperti sebelumnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com