Oleh: Jonatan A Lassa
GEMPA bumi dengan magnitudo 7,4 di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang disusul dengan tsunami pada Jumat pekan lalu, hingga artikel ini ditulis, menyebabkan korban tewas setidaknya 925 jiwa, 99 orang hilang, 799 orang terluka, dan hampir 60.000 orang mengungsi tersebar di lebih dari 100 titik.
Setelah investasi teknologi ratusan miliar rupiah pascatsunami Aceh 2004 yang menghasilkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, InaTEWS, hari ini kembali dipertanyakan efektivitasnya dalam mencegah jatuhnya korban jiwa.
InaTEWS, walau komprehensif secara konseptual, belum mampu memberikan layanan yang memadai ketika dihadapkan pada gempa Palu.
Harga yang dibayar cukup mahal karena begitu banyak kematian akibat ketidakmampuan mengevakuasi diri. Hampir sebagian besar korban tsunami tidak mendapatkan informasi evakuasi pascagempa dari pemerintah. Tidak ada sirine yang berbunyi.
Pada saat yang bersamaan, masyarakat belum memiliki gerakan refleks evakuasi mandiri ke tempat yang lebih tinggi begitu terjadi gempa.
Masalah kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami dan gempa bumi bukan sekadar masalah teknologi, melainkan juga masalah sosial budaya dan ekonomi politik yang perlu diselesaikan secara memadai, terus-menerus, dan detail.
Kontroversi tsunami Palu
Politikus Senayan akan memanggil Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk dimintai keterangan terkait diakhirinya peringatan dini tsunami oleh BMKG.
Kontroversi muncul karena gelombang tsunami yang mematikan secara empirik tiba di pantai Palu setelah BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami pascagempa berkekuatan 7,4 dengan kedalaman 10 kilometer di wilayah 27 km timur laut Donggala pada Jumat (28/9/2018), tepatnya pukul 18:02:44 Wita.
Peringatan dini tsunami dihentikan 30 menit kemudian, sedangkan gelombang tsunami telah tiba 15 menit lebih awal.
Keputusan BMKG berdasarkan hasil analisis pemodelan tsunami Palu yang diverifikasi dengan berbasis proxy dari tide gauge, yaitu alat pendeteksi pasang surut, di Mamuju (300 km dari Palu).
Baca juga: Kini Terungkap, Tsunami Palu Menerjang Hanya 8 Menit Setelah Gempa!
Hasil analisis itu menunjukkan muka air tsunami terdeteksi, tetapi tidak signifikan untuk sebuah tsunami yang membahayakan.
BMKG dan beberapa ahli menjelaskan bahwa tide gauge di Palu tidak terkonfirmasi atau tidak berfungsi. Adapun kontak untuk verifikasi di Palu tidak aktif karena tidak ada jalur telepon yang hidup di Palu sesaat setelah gempa terjadi.
Pada waktu yang bersamaan, tidak ada sumber data alternatif seperti tsunami buoys alias pelampung peringatan tsunami yang tersedia.