Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dari Tsunami Palu, Meninjau Ulang Sistem Peringatan Dini Indonesia

GEMPA bumi dengan magnitudo 7,4 di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang disusul dengan tsunami pada Jumat pekan lalu, hingga artikel ini ditulis, menyebabkan korban tewas setidaknya 925 jiwa, 99 orang hilang, 799 orang terluka, dan hampir 60.000 orang mengungsi tersebar di lebih dari 100 titik.

Setelah investasi teknologi ratusan miliar rupiah pascatsunami Aceh 2004 yang menghasilkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, InaTEWS, hari ini kembali dipertanyakan efektivitasnya dalam mencegah jatuhnya korban jiwa.

InaTEWS, walau komprehensif secara konseptual, belum mampu memberikan layanan yang memadai ketika dihadapkan pada gempa Palu.

Harga yang dibayar cukup mahal karena begitu banyak kematian akibat ketidakmampuan mengevakuasi diri. Hampir sebagian besar korban tsunami tidak mendapatkan informasi evakuasi pascagempa dari pemerintah. Tidak ada sirine yang berbunyi.

Pada saat yang bersamaan, masyarakat belum memiliki gerakan refleks evakuasi mandiri ke tempat yang lebih tinggi begitu terjadi gempa.

Masalah kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami dan gempa bumi bukan sekadar masalah teknologi, melainkan juga masalah sosial budaya dan ekonomi politik yang perlu diselesaikan secara memadai, terus-menerus, dan detail.

Kontroversi tsunami Palu

Politikus Senayan akan memanggil Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk dimintai keterangan terkait diakhirinya peringatan dini tsunami oleh BMKG.

Kontroversi muncul karena gelombang tsunami yang mematikan secara empirik tiba di pantai Palu setelah BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami pascagempa berkekuatan 7,4 dengan kedalaman 10 kilometer di wilayah 27 km timur laut Donggala pada Jumat (28/9/2018), tepatnya pukul 18:02:44 Wita.

Peringatan dini tsunami dihentikan 30 menit kemudian, sedangkan gelombang tsunami telah tiba 15 menit lebih awal.

Keputusan BMKG berdasarkan hasil analisis pemodelan tsunami Palu yang diverifikasi dengan berbasis proxy dari tide gauge, yaitu alat pendeteksi pasang surut, di Mamuju (300 km dari Palu).

Hasil analisis itu menunjukkan muka air tsunami terdeteksi, tetapi tidak signifikan untuk sebuah tsunami yang membahayakan.

BMKG dan beberapa ahli menjelaskan bahwa tide gauge di Palu tidak terkonfirmasi atau tidak berfungsi. Adapun kontak untuk verifikasi di Palu tidak aktif karena tidak ada jalur telepon yang hidup di Palu sesaat setelah gempa terjadi.

Pada waktu yang bersamaan, tidak ada sumber data alternatif seperti tsunami buoys alias pelampung peringatan tsunami yang tersedia.

Informasi mengenai hilang atau rusaknya semua tsunami buoys bukan berita baru. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkali-kali mengatakan hal ini, setidaknya sejak Juli 2011, lalu Maret 2016, hingga Desember 2017. Artinya, dalam 7 tahun ini, tidak ada penggantian tsunami buoys.

Pertanyaannya, mengapa tsunami buoys tidak diganti bila alat itu penting dalam skenario gempa Palu tersebut?

Mengapa penggantian alat yang rusak tidak menjadi prioritas pemerintah? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah DPR yang tidak menyetujui proposal anggaran dari lembaga terkait?

Tingkatan fokus pada kesiapsiagaan masyarakat

Sistem peringatan dini tsunami (TEWS) yang berpusat pada manusia mensyaratkan komitmen untuk investasi dalam membangun kesadaran kesiapsiagaan terhadap tsunami dan gempa. Investasi pada masyarakat rentan harus rutin dan berkesinambungan dari level kabupaten hingga pada level rumah tangga.

Konsep dan fokus InaTEWS tidak cukup hanya dengan debat soal pemuktahiran teknologi, lalu lupa dengan kerja menyiapkan masyarakat agar siap menghadapi tsunami masa depan.

Sudah sejauh mana pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara serius mengimplementasi agenda kesiapsiagaan tsunami dan kegempaan di daerah?

Menyalahkan masyarakat karena vandalisme terkait tsunami buoys dan mengatakan masyarakat sebagai pembunuh adalah satu hal. Namun, mereduksi masalah tsunami buoys dalam ranah kriminal tentu tidak menyelesaikan masalah.

Kalaupun masih ada tsunami buoys yang mungkin telah berusia di atas 10 tahunan ini, apakah ada perawatan yang rutin?

Dalam tradisi pemeliharaan tsunami buoys di Australia, misalnya, Badan Meterologi Australia secara berkala mengganti tsunami buoys di permukaan air laut tiap dua tahun.

Sensor tekanan dasar lautnya juga harus rutin dan lebih sering dibersihkan karena sering kemasukan sedimen dan makhluk kecil di laut.

Artinya, sejak InaTEWS diresmikan dan buoys digunakan pada 2008, minimal perlu penggantian tsunami buoys sebanyak 3-4 kali. Tentu tergantung tipe dan ketahanannya produknya, perawatannya memang mahal dan tidak selalu mumpuni.

Terkait tsunami buoys, beberapa keterangan pakar justru mengatakan bahwa Palu tidak memiliki alat peringatan tersebut karena minimnya dukungan dana dari pemerintah terhadap Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang mengelola alat tersebut.

Kita perlu mempertanyakan, apakah ada anggaran memadai yang dikeluarkan terkait pemeliharaan tsunami bouys dalam InaTEWS dalam 8 tahun terakhir. Artinya, mungkin saja tsunami buoys yang hilang memang secara natural sudah tidak berfungsi karena ketiadaan pemeliharaan.

Karena itu, menyalahkan masyarakat yang mengambilnya sebagai "pembunuh" perlu diimbangi dengan kemampuan otokritik pemerintah untuk menyadari perannya dalam jatuhnya korban karena kelalaian menyediakan anggaran pemeliharaan dan pemutakhiran infrastruktur InaTEWS.

Ketidakpastian teknologi dan sistem TEWS

Teknologi memiliki kelemahan yang melekat pada sistem tata kelola dan keterbatasan karena konteks. Badan Informasi Geospasial (BIG) perlu memutakhirkan dan memantau pemeliharaan tide gauge secara berkala.

Sistem dan peralatan yang bergantung pada aliran listrik sering menjadi masalah ketika terjadi gempa besar. Pentingnya sistem energi back-up seperti tenaga surya sudah sering dibahas.

Selain soal ketiadaan informasi dari tide gauge Palu dan ketiadaan tsunami buoys, berbagai kritik terkait model analisis tsunami yang wajib memperhitungkan karakteristik dinamika teluk, potensi longsor bawah laut, serta sistem dan teknologi InaTEWS yang tidak mutakhir mungkin ada benarnya.

Menyalahkan BMKG saat ini tentu gampang, tetapi tak selalu seperti yang terlihat secara kasat mata dalam gempa Palu. Mengoreksi birokrasi lokal (juga nasional) yang abai dalam memelihara tide gauge dan buoys juga perlu.

Namun, menyalahkan masyarakat tanpa ada agenda pendidikan publik dan kesadaran mereka terkait aset-aset InaTEWS seperti tsunami buoys tentu lebih mudah lagi.

Aspek kecepatan dan ketepatan menjadi sangat penting dalam sistem peringatan dini tsunami (TEWS) di mana pun. Hukum perkembangan teknologi menurut Hukum Moore menghendaki pemuktahiran alat setiap 18-24 bulan.

Bagaimana InaTEWS mengoperasikan sistem yang efektif menyelamatkan rakyat bila sistemnya tidak diperbarui secara berkala seturut perkembangan teknologi? Bagaimana memiliki sistem yang selalu mutakhir bila pengambil kebijakan tidak mendukung proposal anggaran pemuktahiran sistem?

Salah satu komponen utama dari sistem peringatan dini Indonesia adalah manusia Indonesia itu sendiri. Penekanan yang berlebihan pada teknologi dapat membuat komunitas menjadi pasif.

Ini dapat mengakibatkan kemampuan masyarakat tidak berkembang dalam beradaptasi dengan daya antisipasi yang mandiri dan berkelanjutan.

Reformasi birokrasi bencana di daerah

Harus ada upaya pendidikan masyarakat secara konsisten. TEWS diciptakan demi penyelamatan manusia.

Karena itu, penekanan pada manusia dan sistem tata kelolanya sangat penting dalam menjamin keberlanjutan layanan peringatan dini.

Transformasi InaTEWS menghendaki reformasi birokrasi TEWS dan penanganan bencana di daerah dalam keseharian.

Kehadiran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) sebagai ujung tombak layanan informasi bencana dan peringatan di tiap kabupaten kota bukanlah pajangan birokrasi tanpa tujuan.

Tanpa perbaikan birokrasi dan reformasi layanan publik sepanjang rantai InaTEWS dari pusat hingga daerah dan yang diikuti dengan penyadaran dan kesiapsiagaan akar rumput, mustahil Indonesia tangguh terhadap gempa tsunamigenik.

Jonatan A Lassa
Senior Lecturer, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society, Charles Darwin University

Artikel ini ditayangkan berkat kerja sama Kompas.com dan The Conversation Indonesia dengan judul asli "Meninjau ulang strategi peringatan dini tsunami di Indonesia: cermin dari Palu". Isi artikel di luar tanggung jawab Kompas.com.

https://sains.kompas.com/read/2018/10/04/115535923/dari-tsunami-palu-meninjau-ulang-sistem-peringatan-dini-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke