Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Dari Tsunami Palu, Meninjau Ulang Sistem Peringatan Dini Indonesia

Kompas.com - 04/10/2018, 11:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Informasi mengenai hilang atau rusaknya semua tsunami buoys bukan berita baru. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkali-kali mengatakan hal ini, setidaknya sejak Juli 2011, lalu Maret 2016, hingga Desember 2017. Artinya, dalam 7 tahun ini, tidak ada penggantian tsunami buoys.

Pertanyaannya, mengapa tsunami buoys tidak diganti bila alat itu penting dalam skenario gempa Palu tersebut?

Mengapa penggantian alat yang rusak tidak menjadi prioritas pemerintah? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah DPR yang tidak menyetujui proposal anggaran dari lembaga terkait?

Tingkatan fokus pada kesiapsiagaan masyarakat

Sistem peringatan dini tsunami (TEWS) yang berpusat pada manusia mensyaratkan komitmen untuk investasi dalam membangun kesadaran kesiapsiagaan terhadap tsunami dan gempa. Investasi pada masyarakat rentan harus rutin dan berkesinambungan dari level kabupaten hingga pada level rumah tangga.

Konsep dan fokus InaTEWS tidak cukup hanya dengan debat soal pemuktahiran teknologi, lalu lupa dengan kerja menyiapkan masyarakat agar siap menghadapi tsunami masa depan.

Sudah sejauh mana pemerintah daerah dan pemerintah pusat secara serius mengimplementasi agenda kesiapsiagaan tsunami dan kegempaan di daerah?

Menyalahkan masyarakat karena vandalisme terkait tsunami buoys dan mengatakan masyarakat sebagai pembunuh adalah satu hal. Namun, mereduksi masalah tsunami buoys dalam ranah kriminal tentu tidak menyelesaikan masalah.

Kalaupun masih ada tsunami buoys yang mungkin telah berusia di atas 10 tahunan ini, apakah ada perawatan yang rutin?

Dalam tradisi pemeliharaan tsunami buoys di Australia, misalnya, Badan Meterologi Australia secara berkala mengganti tsunami buoys di permukaan air laut tiap dua tahun.

Sensor tekanan dasar lautnya juga harus rutin dan lebih sering dibersihkan karena sering kemasukan sedimen dan makhluk kecil di laut.

Artinya, sejak InaTEWS diresmikan dan buoys digunakan pada 2008, minimal perlu penggantian tsunami buoys sebanyak 3-4 kali. Tentu tergantung tipe dan ketahanannya produknya, perawatannya memang mahal dan tidak selalu mumpuni.

Baca juga: Ilmuwan: Bentuk Teluk Membuat Tsunami Palu Makin Buruk

Terkait tsunami buoys, beberapa keterangan pakar justru mengatakan bahwa Palu tidak memiliki alat peringatan tersebut karena minimnya dukungan dana dari pemerintah terhadap Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang mengelola alat tersebut.

Kita perlu mempertanyakan, apakah ada anggaran memadai yang dikeluarkan terkait pemeliharaan tsunami bouys dalam InaTEWS dalam 8 tahun terakhir. Artinya, mungkin saja tsunami buoys yang hilang memang secara natural sudah tidak berfungsi karena ketiadaan pemeliharaan.

Karena itu, menyalahkan masyarakat yang mengambilnya sebagai "pembunuh" perlu diimbangi dengan kemampuan otokritik pemerintah untuk menyadari perannya dalam jatuhnya korban karena kelalaian menyediakan anggaran pemeliharaan dan pemutakhiran infrastruktur InaTEWS.

Halaman:



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau