Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/10/2018, 14:43 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Sebagai negara yang ada di zona Ring of Fire, para ahli Internasional memastikan akan terjadi tsunami lagi di Indonesia. Sayang, teknologi untuk memprediksia gempa dan tsunami masih memilukan.

Gempa Donggala dan tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018), membuat para ilmuwan Internasional tercengang. Mereka tidak menduga bahwa gempa tersebut dapat menimbulkan gelombang yang begitu merusak.

"Kami berpikir gempa (Palu-Donggala) bisa menyebabkan tsunami, tapi tidak sebesar itu," ujar Jason Patton, ahli geofisika yang mengajar di Humboldt State University, California.

"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami menemukan hal-hal yang belum pernah diamati sebelumnya," imbuhnya.

Gempa bermagnitudo 7,4 yang mengguncang Sulawesi Tengah sore hari itu berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi yang berjarak sekitar 50 mil (sekitar 80 kilometer) sebelah utara Palu. Sekitar 30 menit setelah gempa, muncul tsunami setinggi 3-4 meter menghancurkan bangunan, kendaraan, dan menewaskan ratusan orang.

Baca juga: 4 Fenomena Tak Terduga yang Terjadi saat Gempa Palu dan Lombok

Menurut ahli tsunami, jumlah korban jiwa yang tinggi menunjukkan kurangnya sistem canggih di Indonesia untuk mendeteksi dan memberi peringatan tsunami.

Terjadinya tsunami sering kali merupakan akibat dari gempa bumi megathrust, yakni gerak sesar naik yang besar dan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan.

Zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudra bergerak ke bawah menunjam lempeng benua.

Saat peristiwa ini terjadi, banyak air akan tersedot dan menciptakan gelombang yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi dan melintasi cekungan samudra, kemudian menyebabkan kehancuran ribuan mil dari pusat gempa.

Salah satu contoh gempa megathrust yang menyebabkan tsunami dahsyat terjadi di tahun 2004, tepatnya di Samudra Hindia dan dikenal sebagai tsunami Aceh.

Saat itu gempa megathrust berkekuatan 9,1 di Aceh menimbulkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 30 meter. Kejadian alam ini menewaskan hampir seperempat juta orang di Indonesia hingga Afrika Selatan.

Dilansir New York Times, Minggu (30/9/2018), patahan yang terjadi di Sulawesi Tengah berbeda dengan patahan di Aceh 14 tahun silam. Patton menyebut patahan di Sulawesi sebagai patahan strike-slip, di mana sebagian besar gerakannya horisontal. Gerakan seperti ini umumnya tidak akan menciptakan tsunami.

Menurut Dr. Patton hanya dalam keadaan tertentu patahan strike-slip menyebabkan tsunami. Ada tiga dugaan yang diungkapkan Patton.

Pertama, sesar strike-slip mungkin memiliki sejumlah gerakan vertikal yang dapat menyedot air laut.

Kedua, zona patahan sesar yang dalam kasus ini diperkirakan sekitar 112 kilometer panjangnya melewati area di mana dasar laut naik atau turun, sehingga ketika patahan bergerak selama gempa, ia mendorong air laut di depannya.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau