Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tsunami Akan Terjadi Lagi, Pasti!

Gempa Donggala dan tsunami yang menerjang Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9/2018), membuat para ilmuwan Internasional tercengang. Mereka tidak menduga bahwa gempa tersebut dapat menimbulkan gelombang yang begitu merusak.

"Kami berpikir gempa (Palu-Donggala) bisa menyebabkan tsunami, tapi tidak sebesar itu," ujar Jason Patton, ahli geofisika yang mengajar di Humboldt State University, California.

"Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami menemukan hal-hal yang belum pernah diamati sebelumnya," imbuhnya.

Gempa bermagnitudo 7,4 yang mengguncang Sulawesi Tengah sore hari itu berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi yang berjarak sekitar 50 mil (sekitar 80 kilometer) sebelah utara Palu. Sekitar 30 menit setelah gempa, muncul tsunami setinggi 3-4 meter menghancurkan bangunan, kendaraan, dan menewaskan ratusan orang.

Menurut ahli tsunami, jumlah korban jiwa yang tinggi menunjukkan kurangnya sistem canggih di Indonesia untuk mendeteksi dan memberi peringatan tsunami.

Terjadinya tsunami sering kali merupakan akibat dari gempa bumi megathrust, yakni gerak sesar naik yang besar dan bergerak secara vertikal di sepanjang patahan.

Zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudra bergerak ke bawah menunjam lempeng benua.

Saat peristiwa ini terjadi, banyak air akan tersedot dan menciptakan gelombang yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi dan melintasi cekungan samudra, kemudian menyebabkan kehancuran ribuan mil dari pusat gempa.

Salah satu contoh gempa megathrust yang menyebabkan tsunami dahsyat terjadi di tahun 2004, tepatnya di Samudra Hindia dan dikenal sebagai tsunami Aceh.

Saat itu gempa megathrust berkekuatan 9,1 di Aceh menimbulkan tsunami dengan ketinggian gelombang mencapai 30 meter. Kejadian alam ini menewaskan hampir seperempat juta orang di Indonesia hingga Afrika Selatan.

Dilansir New York Times, Minggu (30/9/2018), patahan yang terjadi di Sulawesi Tengah berbeda dengan patahan di Aceh 14 tahun silam. Patton menyebut patahan di Sulawesi sebagai patahan strike-slip, di mana sebagian besar gerakannya horisontal. Gerakan seperti ini umumnya tidak akan menciptakan tsunami.

Menurut Dr. Patton hanya dalam keadaan tertentu patahan strike-slip menyebabkan tsunami. Ada tiga dugaan yang diungkapkan Patton.

Pertama, sesar strike-slip mungkin memiliki sejumlah gerakan vertikal yang dapat menyedot air laut.

Kedua, zona patahan sesar yang dalam kasus ini diperkirakan sekitar 112 kilometer panjangnya melewati area di mana dasar laut naik atau turun, sehingga ketika patahan bergerak selama gempa, ia mendorong air laut di depannya.

Ketiga, tsunami tercipta secara tidak langsung. Guncangan keras selama gempa mungkin telah menyebabkan longsor bawah laut dan menciptakan gelombang tinggi. Kejadian tak lazim ini pernah terjadi pada gempa berkekuatan 9,64 di Alaska pada 1964.

Patton mengatakan, kombinasi berbagai faktor mungkin telah berkontribusi pada tsunami. Ia menyebut, studi tentang dasar laut akan sangat membantu dalam memahami peristiwa ini. "Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai semua ini selesai," ungkapnya.

Tsunami juga bisa dipengaruhi oleh letak Palu yang ada di ujung teluk sempit. Garis pantai dan kontur dasar teluk bisa memfokuskan energi gelombang dan mengarahkannya ke teluk, kemudian meningkatkan tinggi gelombang saat mendekati pantai.

Hal seperti ini juga pernah terjadi di Cresent City, California, yang dihantam tsunami lebih dari 30 kali, termasuk gempa Alaska pada 1964 yang menewaskan 11 orang karena kontur dasar laut di wilayah tersebut, juga topografi kotanya.

Apa pun asal usul gelombang tinggi, gempa berkekuatan 7,4 tidak pernah diduga dapat menciptakan peristiwa di lautan luas, tetapi lebih merupakan peristiwa yang terlokalisasi.

Dengan munculnya tsunami yang sangat dekat dengan Palu, masyarakat hanya memiliki sedikit waktu untuk melarikan diri.

Seperti kita tahu, BMKG juga mencabut peringatan tsunami sekitar setengah jam setelah gempa, hal ini terjadi setelah tsunami menghantam Palu.

Teknologi sensor tsunami Indonesia

Menurut Louise Comfort, seorang profesor di University of Pittsburgh yang terlibat dalam proyek sensor tsunami baru di Indonesia, negara kita saat ini menggunakan perangkat yang memiliki keterbatasan efektivitas, seperti seismograf, sistem perangkat penentuan posisi global, dan alat pengukur pasang untuk mendeteksi tsunami.

Di AS, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional menggunakan jaringan canggih dari 39 sensor di dasar samudra untuk mendeteksi perubahan tekanan sekecil mungkin yang menunjukkan gejala tsunami. Data tersebut kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis, kemudian peringatan akan dikeluarkan oleh pemerintah jika diperlukan.

Menurut Dr. Comfort, sebenarnya Indonesia memiliki jaringan serupa dengan 22 sensor di bawah laut. Sayangnya, alat ini tidak lagi digunakan karena rusak dan tidak dipelihara.

Comfort menjelaskan, proyek tsunami baru yang akan dipasang di Indonesia berbentuk komunikasi bawah laut untuk menghindari dirusak atau ditabrak kapal.

"Saya telah mendiskusikan proyek ini dengan tiga lembaga pemerintah Indonesia. Namun rencana untuk memasang sistem prototipe di Sumatera bagian barat harus ditunda bulan ini," katanya.

"Sangat memilukan saat Anda tahu bagaimana teknologi di Indonesia. Padahal Indonesia berada di Ring of Fire, tsunami bisa terjadi lagi," tegasnya.

https://sains.kompas.com/read/2018/10/01/144305723/tsunami-akan-terjadi-lagi-pasti

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke