Belajar dari negara China, lembaga penelitian di sana memiliki peluang besar untuk bekerja sama dengan pemerintah. Ada momen-momen saat pemerintah menyampaikan ke mana arah pembangunan dan apa saja isu-isu strategis yang membutuhkan penelitian.
Pemerintah Negeri Tirai Bambu pun menunjukkan komitmennya dengan mereformasi birokrasi litbang (penelitian dan pengembangan) nasional, menggelontorkan sejumlah dana, dan membuka peluang bagi siapa pun – termasuk lembaga penelitian non pemerintahan - untuk berpartisipasi.
Mereka pun membentuk komite yang memastikan proses lelang berjalan dapat dipertanggungjawabkan, serta menjamin hasilnya berkualitas; dan yang paling penting digunakan untuk merumuskan kebijakan publik.
Akses terhadap data mentah
Idiom “garbage in, garbage out” yang merujuk pada relasi sebab-akibat antara kualitas masukan (input) dan keluaran (output) nampak sangat relevan dengan kinerja PRI. Input yang baik “berpeluang” menghasilkan output yang baik pula.
Meski masih menggunakan istilah “berpeluang”, tidak didukungnya keputusan publik (output) dengan ketersediaan data berkualitas hanya akan menghasilkan kebijakan yang bermasalah.
Data adalah sumber daya utama lembaga penelitian menjalankan perannya. Selain mengandalkan data primer, dengan tujuan studi tertentu lembaga penelitian memerlukan data sekunder yang dikoleksi oleh pemerintah.
Pemerintah sendiri memiliki sumber daya cukup besar soal itu, sebut saja data statistik yang diproduksi Badan Pusat Statistik (BPS) atau data Riset Kesehatan Dasar yang dikelola Kementerian Kesehatan.
Hampir seluruh PRI menyebut kebutuhan data BPS sebagai contohnya, di samping data yang dikoleksi oleh tiap lembaga dan kementerian sektoral dan pemerintah daerah. Kebutuhan data yang dimaksud bukan data yang sudah diolah BPS sendiri seperti agregat kemiskinan per provinsi melainkan data mentahnya (raw data).
Ketersediaan data mentah memungkinkan lembaga penelitian mengolahnya melalui teknik dan model-model tertentu yang berbeda dari olahan kementerian dan lembaga pemerintahan. Ini dapat membuatnya lebih tajam, tematik, dan menghasilkan keluaran dengan sudut pandang berbeda.
Sebagai contoh, Lembaga Penelitian SMERU melalui olah data mentah Sensus Penduduk 2010, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 dan 2015, dan Potensi Desa 2014 menghasilkan peta kemiskinan 2015 hingga level desa atau yang lebih tematik seperti potret kemiskinan anak multidimensi yang terbit pada 2016.
Cara ini, di satu sisi, memang dapat memicu pertarungan hasil olah data yang menguji akuntabilitas pemerintah dalam menerbitkan dan menggunakan data. Namun pada saat yang sama, iklim semacam itu membantu pemerintah menelurkan kebijakan yang lebih kontekstual sepanjang metodologinya dapat dipertanggungjawabkan.
Baca juga: Riset Ilmiah Dianggap Solusi Polemik Cuci Otak ala Terawan
Sayangnya, sebagian data yang dikoleksi pemerintah tidak mudah diperoleh. Data mentah yang dihimpun BPS misalnya, baru bisa diperoleh dengan harga yang tidak murah.
Pendanaan
Pendanaan menjadi isu ketiga yang dimunculkan oleh PRI. Menengok lembar fakta The UNESCO Institute for Statistics (UIS) 2018, Indonesia tergolong negara dengan kontribusi Produk Domestik Brutonya (PDB) paling rendah untuk sektor penelitian dan pengembangan, yaitu kelompok kurang dari 0,25 persen. Angka ini jauh dari Cina dan Australia, atau negara berkembang lain seperti Brazil dan Malaysia.
Dari sisi belanja, anggaran riset yang digelontorkan APBN pun lebih besar terdistribusi pada kementerian dan lembaga pemerintahan serta perguruan tinggi. Yayasan dan lembaga think tank non-pemerintahan memiliki peluang lebih kecil untuk mengakesnya.