Oleh Rendy A Diningrat
KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo berulang kali mempertanyakan dampak anggaran riset kementerian/ lembaga pemerintahan yang begitu besar terhadap kepentingan strategis dan kebijakan publik Indonesia.
Pada tahun 2017, anggaran itu totalnya mencapai sekitar Rp 24 triliun namun hasilnya belum optimal. Hal ini dikarenakan, seperti kritik Jokowi, riset tersebut disebar di banyak kementerian dan rawan tumpang tindih.
Lembaga penelitian, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun non-pemerintah, sebagai salah satu ‘industri’ di sektor pengetahuan memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa.
Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia lebih unggul secara ekonomi, peradaban, dan ilmu pengetahuan karena lembaga risetnya kuat dan perumusan kebijakan berbasis bukti ilmiah.
Sejumlah pihak seringkali menyoroti kinerja penelitian melalui banyaknya pengakuan global yang diterima. Hal ini diukur misalnya dengan membandingkan jumlah publikasi internasional kita yang baru sepertiganya dari Malaysia atau jumlah paten Indonesia yang tertinggal dari Singapura dan Thailand.
Meski pengakuan internasional adalah sesuatu yang berharga, tuntutan yang tak kalah mendesak, terutama bagi lembaga-lembaga penelitian yang berorientasi pada kebijakan publik (policy research institution (PRI)), adalah mengadvokasi hasil riset agar digunakan pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Di Indonesia, geliat PRI mengalami pasang surut. Peran memengaruhi kebijakan melalui penelitian berbasis bukti (evidence-based) masih menjadi pekerjaan rumah dengan sejumlah tantangan.
Survei berbagi pengetahuan SMERU pada awal 2018 memetakan sejumlah kebutuhan PRI untuk meningkatkan performanya. Survei dilakukan terhadap 16 lembaga penelitian kebijakan non-pemerintahan yang menjadi mitra Knowledge Sector Initiative (KSI) yang bekerja pada fokus beragam, antara lain kemiskinan, pendidikan dan kesehatan, agraria, politik, inklusi sosial, serta agama.
Hasil pemetaan menampilkan dukungan pemerintah menjadi faktor penting untuk memajukan sektor pengetahuan, yakni (1) pembaruan arah kebijakan pembangunan, (2) akses terhadap data mentah, dan (3) pendanaan.
Pembaruan arah kebijakan pembangunan
Dalam kerja-kerja pembangunan, hasil penelitian dapat dikembangkan sebagai instrumen untuk meninjau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan (positivistic) sekaligus mengembangkan skenario alternatif (prescriptive).
Baca juga: Riset Internasional di Indonesia, Siapa yang Untung?
Oleh karena itu, penting bagi PRI mengetahui secara jelas arah pembangunan nasional dan daerah serta nilai-nilai apa yang dipegang pemerintah untuk mencapainya.
Pembaruan kebijakan dapat dilakukan pemerintah dengan menyediakan ruang bagi pengetahuan untuk saling bersaing terhadap suatu rancangan kebijakan.
Pemerintah perlu selalu terbuka dengan pertanyaan apa urgensi dan sumber datanya, bagaimana skenario pelaksanaannya hingga sejauh mana implementasinya. Ini semata-mata agar rumusan kebijakan berbasis bukti, bukan wangsit.