Peluang hibah kompetitif seperti Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional (Insinas) dan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) adalah segelintir yang tersedia. Itu pun masih perlu dipikirkan sejauh mana hibah tersebut mampu dan diperbolehkan untuk menjaga kesehatan organisasi, seperti membiayai operasional lembaga, peningkatan kapasitas dan menyejahterakan para staf penelitinya. Situasi ini menjelaskan mengapa sebagian besar PRI menguras lebih banyak keringat untuk berebut hibah donor-donor internasional.
Pada sisi yang lain, Presiden sendiri mulai mempertanyakan efektivitas anggaran riset di kementerian/ lembaga pemerintahan. Tampaknya Jokowi menyadari bahwa belanja dana riset begitu besar selama bertahun-tahun, yang diambil dari pajak rakyat, itu seperti kurang meninggalkan jejak.
Meski pemerintah berjanji menyiapkan sejumlah regulasi yang akan mengkoordinasi kerja-kerja riset antar kementerian dan lembaga pemerintahan, mungkinkah muncul alternatif membuka lebih besar keran pendanaan untuk lembaga penelitian non-pemerintahan? Jika ya, maka prosesnya perlu transparan, bebas korupsi dan intimidasi, serta dapat dipertanggungjawabkan. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa menjadi langkah awal yang membuka kemungkinan-kemungkinan ini.
Sebagai penutup, dengan mendukung riset untuk pengambilan kebijakan publik, maka pertimbangan mitos, wangsit, atau hanya insting pejabat dalam proses merumuskan kebijakan untuk banyak orang makin bisa dikurangi. Itulah yang kita harapkan.
Baca juga: Riset: Kita Berpotensi Jadi Gemuk jika Ada di Sekeliling Orang Gemuk
*Peneliti di SMERU Research Institute
Artikel ini Pertama Kali Tayang di The Conversation
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.