Dalam kunjungannya ke institut tersebut, Tommy menyaksikan para atlet dayung Jepang mendapat simulasi gerakan Sungai Thames, beberapa tahun sebelum Olimpiade London digelar pada 2012.
"Semua gerakan dipelajari dan disimulasikan di ruangan sehingga atlet terbiasa dengan gerakan Sungai Thames," tuturnya.
Contoh lainnya, para atlet maraton Jepang dipersiapkan mengikuti Olimpiade Sidney pada 2000 silam dengan menjalani latihan di ruangan yang dirancang seperti kondisi ketika pertandingan digelar, termasuk suhu, kontur jalan, hingga kelokan rute.
Penerapan di Indonesia
Soal sport science, Indra Sjafri selaku pelatih tim nasional sepakbola U-19 mengaku telah menerapkannya.
Dalam skuat Indonesia, dia mengaku didampingi tim dokter, ahli gizi, dan fisioterapis.
Namun, soal peralatan canggih yang lazim dipakai pesepakbola di Eropa, Indra mengatakan Indonesia memang belum memilikinya.
Baca juga: Asian Games 2018, BMKG Prediksi Cuaca Panas di Jakarta dan Palembang
"Kita tidak berkeluh kesah kalau alatnya kurang. Banyak hal yang kita bisa lakukan secara manual, walaupun alat kita nggak modern," kata Indra.
"Contoh cryotherapy, harus ada ruangan sauna yang khusus dan modern. Kita nggak punya itu, jadi yang saya melakukan di timnas angkatan Evan Dimas cs, saya pakai tiga tong berisi air dingin, air netral, dan air es. Tujuannya sama dengan alat-alat modern, yaitu untuk mempercepat pemulihan tubuh," tambahnya.
Ditanya soal sport science yang menjurus ke perumusan taktik dengan menggunakan statistik dan penyempurnaan teknik melalui ilmu biomekanika, Indra mengangkat bahu.
"Kita belum sampai ke situ. Kalau dibandingkan dengan dunia sepak bola di Eropa dengan Indonesia, itulah ketertinggalan kita," cetusnya.
Bukan Masalah Utama
Soal jauhnya ketertinggalan sport science Indonesia dengan negara-negara, seperti Jepang, Cina, dan Korsel diakui menurut Amal Ganesha, selaku salah satu pendiri Yayasan Ganesport—sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan menciptakan pembangunan berkelanjutan melalui olahraga.