Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prestasi Indonesia di Asian Games 2018: Bukti Praktik "Sport Science"?

Kompas.com - 02/09/2018, 17:35 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Editor

KOMPAS.com - Asian Games 2018 mencapai puncaknya hari ini, Minggu (2/9/2018). Kontingen Indonesia telah meraih 31 medali emas, yang merupakan prestasi terbaik tim Merah-Putih sejak pesta olahraga terakbar Benua Asia itu pertama digelar pada 1951 lampau.

Kementerian Pemuda dan Olahraga mengklaim bahwa raihan ini merupakan dampak penerapan sport science alias sains olahraga.

"Dengan kebijakan baru pemerintah, setiap induk cabor (cabang olahraga) wajib merekrut tenaga sport science dari perguruan tinggi," kata Mulyana, Deputi 4 Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kementerian Pemuda dan Olahraga.

"Dua tahun ini kami sudah melakukan seperti itu dan dampaknya, hasil yang kita peroleh sekarang ini mungkin adalah bagian dari penerapan sport science," sambungnya.

Ke depan, Mulyana mengatakan Indonesia akan memiliki Pusat Olimpiade yang melibatkan sains olahraga demi meningkatkan prestasi.

"Untuk atlet elite yang menuju Olimpiade dan Asian Games, kami sudah merancang Olympic Centre. Jadi dipadukan antara rumah sakit, laboratorium, dan tempat-tempat latihan atlet cabang unggulan," ujar Mulyana.

Tempat tersebut, tambahnya, juga akan memiliki para pakar di bidang nutrisi, psikologi, biomekanika, serta kedokteran olahraga.

Diharapkan tempat itu bakal berfungsi seperti Institut Olahraga Australia serta Insitut Ilmu Olahraga Jepang.

Akan tetapi, ketika ditanya kapan Pusat Olimpiade itu akan direalisasikan, Mulyana mengatakan, "Masih diperjuangkan."

Apa Itu Sains Olahraga?

Sport science sejatinya merupakan ilmu multidisiplin yang mencakup fisiologi, psikologi, biomekanika, nutrisi, dan kedokteran olahraga, menurut Tommy Apriantono, Ketua Kelompok Keilmuan Sports Sciences, Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.

Baca juga: Sambut Asian Games 2018, Kemenkes Siap Hadapi Kondisi Darurat

Indonesia, kata Tommy yang menekuni studi biomekanika di Universitas Nagoya, Jepang, memang sudah menerapkan sport science. Akan tetapi, dibandingkan dengan negara seperti Jepang, China, dan Korea Selatan, Indonesia tertinggal jauh.

"Untuk mengejar negara seperti Jepang, Indonesia memang butuh waktu yang lama. Karena Cina, Jepang, Korea Selatan, sudah menciptakan atlet, by design, bukan menunggu," papar Tommy.

"Kalau kita kan kebanyakan menunggu. Tiba-tiba Lalu Muhammad Zohri muncul," imbuhnya.

Dia mencontohkan bagaimana Jepang menciptakan atlet di Insitut Ilmu Olahraga.

Tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, bertanding dengan wakil Taiwan Chou Tien Chen pada partai final nomor perseorangan bulu tangkis Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018). Jonatan berhasil menyabet medali emas.KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO Tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie, bertanding dengan wakil Taiwan Chou Tien Chen pada partai final nomor perseorangan bulu tangkis Asian Games 2018 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (28/8/2018). Jonatan berhasil menyabet medali emas.
Dalam kunjungannya ke institut tersebut, Tommy menyaksikan para atlet dayung Jepang mendapat simulasi gerakan Sungai Thames, beberapa tahun sebelum Olimpiade London digelar pada 2012.

"Semua gerakan dipelajari dan disimulasikan di ruangan sehingga atlet terbiasa dengan gerakan Sungai Thames," tuturnya.

Contoh lainnya, para atlet maraton Jepang dipersiapkan mengikuti Olimpiade Sidney pada 2000 silam dengan menjalani latihan di ruangan yang dirancang seperti kondisi ketika pertandingan digelar, termasuk suhu, kontur jalan, hingga kelokan rute.

Penerapan di Indonesia

Soal sport science, Indra Sjafri selaku pelatih tim nasional sepakbola U-19 mengaku telah menerapkannya.

Dalam skuat Indonesia, dia mengaku didampingi tim dokter, ahli gizi, dan fisioterapis.

Namun, soal peralatan canggih yang lazim dipakai pesepakbola di Eropa, Indra mengatakan Indonesia memang belum memilikinya.

Baca juga: Asian Games 2018, BMKG Prediksi Cuaca Panas di Jakarta dan Palembang

"Kita tidak berkeluh kesah kalau alatnya kurang. Banyak hal yang kita bisa lakukan secara manual, walaupun alat kita nggak modern," kata Indra.

"Contoh cryotherapy, harus ada ruangan sauna yang khusus dan modern. Kita nggak punya itu, jadi yang saya melakukan di timnas angkatan Evan Dimas cs, saya pakai tiga tong berisi air dingin, air netral, dan air es. Tujuannya sama dengan alat-alat modern, yaitu untuk mempercepat pemulihan tubuh," tambahnya.

Ditanya soal sport science yang menjurus ke perumusan taktik dengan menggunakan statistik dan penyempurnaan teknik melalui ilmu biomekanika, Indra mengangkat bahu.

"Kita belum sampai ke situ. Kalau dibandingkan dengan dunia sepak bola di Eropa dengan Indonesia, itulah ketertinggalan kita," cetusnya.

Bukan Masalah Utama

Soal jauhnya ketertinggalan sport science Indonesia dengan negara-negara, seperti Jepang, Cina, dan Korsel diakui menurut Amal Ganesha, selaku salah satu pendiri Yayasan Ganesport—sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan menciptakan pembangunan berkelanjutan melalui olahraga.

Irfan Jaya dan Evan Dimas merayakan gol Timnas U-23 Indonesia ke gawang Hong Kong pada pertandingan di Stadion Patriot, 20 Agustus 2018.TABLOID BOLA/HERKA YANIS PANGARIBOWO Irfan Jaya dan Evan Dimas merayakan gol Timnas U-23 Indonesia ke gawang Hong Kong pada pertandingan di Stadion Patriot, 20 Agustus 2018.
"Contoh di sepak bola. Dunia sepak bola sudah lama mengenal statistik, bahkan ada penyedia jasa statistik untuk sepakbola di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir," papar Amal.

"Tapi pelatih sepakbola di Indonesia banyak yang standar lisensi kepelatihannya tidak tergolong elite. Jadi, pelatih tidak tahu bagaimana menggunakan statistik, padahal itu sport science," imbuhnya.

Mendorong agar olahraga prestasi Indonesia menggunakan sport science, menurut Amal, bukan solusi tunggal.

Baca juga: Kebakaran Hutan saat Asian Games 2018 Perlu Diantisipasi

Hal itu karena penerapan sport sains dan tajamnya perbedaan penerapan pengetahuan olahraga antara Indonesia dan negara-negara maju bukanlah masalah utama.

Amal, yang lulusan pascasarjana manajemen olahraga dari Universitas Coventry, Inggris, itu menilai masalah olahraga prestasi di Indonesia adalah tata kelola.

"Ada beberapa atlet yang saya ajak bicara, mereka mengaku tidak punya pekerjaan jika pelatnas dan ajang Asian Games selesai. Itu artinya olahraga kita tidak menciptakan keberlanjutan. Ini masalah. Bagaimana atlet mau konsentrasi jika kesejahteraan tidak terjamin?" cetusnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau