KOMPAS.com - Pada 2003, sekelompok peneliti menemukan kerangka dengan bentuk dan ukuran yang tidak biasa di Gurun Atacama, Cile.
Sejak saat itu, kerangka yang dinamai Ata itu menjadi perdebatan banyak ahli. Salah satunya, para peneliti yang menganalisis Ata dan menerbitkannya di jurnal Genome Research, Maret 2018.
Dalam laporan yang dilakukan ahli dari University of California, San Francisco, dan Stanford University, dikatakan Ata merupakan manusia yang mengalami mutasi genetik parah dan sangat langka.
Namun, sekelompok peneliti lain baru saja mempublikasikan kesimpulan yang berbeda. Mereka mengkritik penelitian sebelumnya dan menyebut studi tersebut kurang memahami tentang perkembangan janin normal.
Baca juga: Dikira Alien, Kerangka yang Ditemukan di Cile Ternyata...
Dalam analisis baru yang diterbitkan di International Journal of Paleopathology, Rabu (18/7/2018), para ahli mengatakan tengkorak dan tubuh yang tidak umum, bukan berarti merupakan hasil mutasi genetik.
"Sebaliknya, tengkorak bisa memanjang karena persalinan pervaginam (persalinan normal) saat janin lahir prematur. Sementara, panas dan tekanan di bawah tanah setelah janin dikubur dapat makin menekan tengkorak," tulis para peneliti dalam laporannya dilansir Live Science, Kamis (19/7/2018).
Selain itu, dalam tulisan studi terbaru para ahli juga mempertanyakan gagasan penelitian sebelumnya yang mengungkap mutasi genetik dapat menjelaskan ukuran mumi.
Menurut mereka, perkembangan sistem rangka atau skeletal pada janin yang diprediksi berusia 15 minggu tidak akan terpengaruh oleh varian genetik, seperti yang disebutkan dalam studi sebelumnya.
Baca juga: Mumi Misterius Mirip Alien Ditemukan di Peru, Ini Kata Ahli
"Menurut kami tidak ada alasan ilmiah untuk melakukan analisis genomik dari Ata, karena kerangka itu normal. Selain tidak perlu, menurut kami juga tidak etis," kata para peneliti.
"Kami memperingatkan bagi para peneliti DNA untuk tidak terlibat dalam kasus yang tidak memiliki konteks dan legalitas yang jelas, termasuk kerangka yang merupakan koleksi pribadi," tutup peneliti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.