Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/05/2018, 20:31 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber Greenpeace
KOMPAS.com - Rabu pekan lalu (16/5/2018), Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan Jakarta berada di posisi pertama dalam indeks kualitas udara terburuk di dunia.

Seperti diberitakan Kompas.com, buruknya kualitas udara di Jakarta saat itu mengungguli Beijing, Lahor, New Delhi, dan Daka.

Data yang digunakan Sandiga adalah hasil pantauan tingkat polusi udara yang muncul hari Minggu (13/5) lewat situs Air Visual.

 
Situs ini mengukur indeks standar pencemaran udara (ISPU) kota-kota besar di dunia, dengan alat pemantau yang dipasang di kompleks kedutaan Besar AS di tiap negara. Artinya, data yang dipantau secara real time tersebut dapat berubah setiap saat.
 

Lalu, bagaimana sebenarnya kondisi polusi udara di Jakarta?

Menurut pantauan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace Indonesia, data pengukuran menunjukkan kualitas udara memasuki level tidak sehat atau berbahaya.

Hal ini serupa dengan hasil pemantauan udara yang dilakukan Kedutaan Besar Amerika Serika di Jakarta.

Selama 2017 misalnya, angka PM 2.5 harian di sejumlah lokasi di Jakarta melebihi standar WHO yakni 25µg/m3, dan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yakni 65µg/m3.

Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30 nya.

Standar yang diterapkan WHO dan Nasional itu adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien.

Data kualitas udara di Jakarta sepanjang 2017 Data kualitas udara di Jakarta sepanjang 2017

Seperti dilihat dalam hasil kompilasi data yang dilakukan Greenpeace melalui stasiun pantau milik US Embassy di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan selama tahun 2017, hanya ada 29 hari dan 28 hari kualitas udara masuk kategori bagus sepanjang tahun. Hal ini ditunjukkan dengan warna hijau.

Sisanya, kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori cukup bagus, tidak sehat untuk kelompok sensitif, dan tidak sehat.

"Bahkan kita kompilasi dari Januari sampai Mei tahun ini lumayan mencengangkan. Bulan April sampai Mei itu jarang ada kuningnya, kebanyakan oranye. Itu (kuning) kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif dan (oranye) tidak sehat," jelas Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Kompas.com, Senin (21/5/2018).

Baca juga: Tanpa Anda Sadari, Polusi Udara Bunuh Jutaan Jiwa Setiap Tahun

"Ini sangat berbahaya sebenarnya, dan sangat dirasakan oleh kelompok sensitif yang sudah memiliki penyakit asma atau penyakit pernapasan lainnya," jelas Bondan.

Ia menerangkan, apabila dalam sebuah keluarga ada yang memiliki penyakit pernapasan dan kondisi udara sedang buruk misalnya berwarna oranye (tidak sehat), orang tersebut pasti akan batuk, iritasi, dan segala macamnya.

Risiko kesehatan

Menurut artikel yang dikeluarkan Greenpeace.org (28/9/2017), PM 2.5 dapat terhirup dan mengendap di organ pernapasan.

Jika terpapar dalam jangka panjang, PM 2.5 dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut terutama bagi anak-anak, hingga kanker paru-paru.

Selain itu, PM 2.5 dapat meningkatkan kadar racun dalam pembuluh darah yang dapat memicu stroke, penyakit kardiovaskular dan jantung, serta membahayakan ibu hamil karena berpotensi menyerang janin.

Risiko kesehatan disebabkan oleh polutan Risiko kesehatan disebabkan oleh polutan

Bagan di atas untuk memprediksi kematian akibat penyakit tertentu. Simulasi ini dibuat oleh badan Internasional, termasuk WHO.

 
Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau