Seperti diberitakan Kompas.com, buruknya kualitas udara di Jakarta saat itu mengungguli Beijing, Lahor, New Delhi, dan Daka.
Data yang digunakan Sandiga adalah hasil pantauan tingkat polusi udara yang muncul hari Minggu (13/5) lewat situs Air Visual.
Menurut pantauan kualitas udara yang dilakukan Greenpeace Indonesia, data pengukuran menunjukkan kualitas udara memasuki level tidak sehat atau berbahaya.
Hal ini serupa dengan hasil pemantauan udara yang dilakukan Kedutaan Besar Amerika Serika di Jakarta.
Selama 2017 misalnya, angka PM 2.5 harian di sejumlah lokasi di Jakarta melebihi standar WHO yakni 25µg/m3, dan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yakni 65µg/m3.
Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30 nya.
Standar yang diterapkan WHO dan Nasional itu adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien.
Sisanya, kualitas udara di Jakarta masuk dalam kategori cukup bagus, tidak sehat untuk kelompok sensitif, dan tidak sehat.
"Bahkan kita kompilasi dari Januari sampai Mei tahun ini lumayan mencengangkan. Bulan April sampai Mei itu jarang ada kuningnya, kebanyakan oranye. Itu (kuning) kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif dan (oranye) tidak sehat," jelas Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia kepada Kompas.com, Senin (21/5/2018).
"Ini sangat berbahaya sebenarnya, dan sangat dirasakan oleh kelompok sensitif yang sudah memiliki penyakit asma atau penyakit pernapasan lainnya," jelas Bondan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan