Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Hasil Forensik Samson, Badak Jawa yang Mati di Ujung Kulon

Kompas.com - 27/04/2018, 18:33 WIB
Resa Eka Ayu Sartika

Penulis

KOMPAS.com - Kabar mengejutkan datang dari Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Pada Senin (23/04/2018) lalu, seekor badak jawa ditemukan mati di Pantai Karang Ranjang, Pandeglang, Banten.

Badak jantan ini diidentifikasi bernama Samson. Tubuhnya masih utuh ketika ditemukan.

"Masih utuh, bercula, dan lengkap," kata Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno dalam keterangan tertulis pada Kamis (26/4/2018).

Mengetahui hal ini, tim dokter hewan dari World Wildlife Fund (WWF) Indonesia bekerja sama dengan ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), melakukan investigasi forensik bangkai Samson.

Baca juga: Perlu Manajemen Habitat Lebih Agresif untuk Pelestarian Badak Jawa

Investigasi ini menghasilkan beberapa hal. Pada pengamatan luar misalnya, kondisi bangkai badak ini masih utuh dengan cula masih menempel pada kepala dan tidak ada tanda-tanda luka pada tubuh.

Pengamatan Luar

Hanya saja, kondisi bangkai menunjukkan adanya pembusukan. Ini ditandai dengan pengeluaran gas dan busa dari celah kulit badak tersebut serta kulit dan culanya mudah terlepas.

Ciri lain pembusukan terlihat dari telur dan larva lalat (belatung) yang ditemukan di pemukaan kulit. Telur dan larva lalat banyak ditemukan di bagian kaki depan dan belakang.

Selain itu, dalam pengamatan, para ahli menemukan mata, mulut, hidung, alat kelamin, dan anus Samson yang berwarna merah.

Pengamatan Organ Dalam

Sedangkan pada pengamatan bagian dalam tubuh badak jawa tersebut atau nekropsi, terlihat perubahan warna pada sebagian besar organnya. Organ yang berubah warna antara lain ginjal, paru, limpa, hati, dan usus.

Tak hanya berubah warna, konsistensi organ dalam Samson juga sudah lunak dan menyerupai bubur. Gas juga ditemukan di organ dalamnya.

Pada rongga tubuh thorax dan abdomen, para ahli menemukan cairan transudat yang cukup banyak.

Bagian ususnya pun terpuntir antara usus halus dan usus besar. Ini menyebabkan rupture usus di bagian sekum (usus buntu).

Baca juga: Pertama di Dunia, Badak Jalani CT Scan di Kebun Binatang

Isi usus badak itu juga sebagian telah terhambur dan mengenai dinding serosa usus. Hal ini terlihat dari adanya sisa makanan menempel pada serosa usus dan dinding badan (peritoneum).

Pengamatan lebih lanjut juga menunjukkan bahwa di dalam saluran pencernaan terdapat cacing berbentuk bulat yang ditemukan dalam jumlah banyak.

Untuk penelitian lebih lanjut, tim juga mengambil beberapa sampel organ yang masih dinilai layak untuk diperiksa di laboratorium Histopatologi, Divisi Patologi FKH IPB.

“Dari hasil nekropsi, beberapa organ sudah dalam keadaan hancur akibat proses pembusukan seperti ginjal dan paru-paru” jelas Dr. Drh. Sri Estuningsih, M.Si, APVet, ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (27/04/2018).

"Kesimpulan awal, penyebab kematian badak ini adalah kholik atau torsio usus, yaitu usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), mengakibatkan kerusakan pada usus besar, hingga bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh badak," lanjut Estu.

Bukan Penyakit Menular

Selain dari kesimpulan tersebut, tim ini tidak menemukan tanda adanya penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit yang bersifat akut.

Drh Kurnia Khairani, Project Leader WWF-Indonesia yang berkantor di Ujung Kulon menegaskan, “Paling penting, kematian ini bukan disebabkan oleh perburuan badak, karena cula masih menempel pada tubuh badak”.

Baca juga: Badak Putih Jantan Punah, Spesies Badak Ini Terancam Menyusul

Dia juga menegaskan bahwa Samson mati bukan karena infeksi penyakit menular.

“Hasil nekropsi menyatakan bukan disebabkan sakit infeksius yang artinya bukan disebabkan oleh  penyakit menular berbahaya seperti anthrax dan lainnya,” ujar Nia.

“Kami mendorong pemerintah untuk segera merampungkan Strategi Konservasi Badak 2018-2023, dan fokus untuk mengembangkan populasi kedua Badak Jawa selain di Ujung Kulon untuk mencegah punahnya Badak Jawa disebabkan oleh penyakit epidemi yang masif, bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi,” lanjut Nia.

Untuk diketahui, penyakit infeksius bisa bersifat epidemik.

Jika ini terjadi, dikhawatirkan bisa menyebar dengan cepat ke seluruh populasi badak Jawa. Padahal, saat ini, badak Jawa hanya single populasi di Ujung Kulon.

Dengan kata lain, ketika infeksius penyakit menjadi epidemik ditakutkan bisa membuat punah badak Jawa.

Oleh karenanya, pengembangan populasi kedua harus segera menjadi prioritas strategi konservasi badak Jawa ke depan.

Pembelajaran

Pembelajaran penting dari kematian Samson ini adalah penanganan kematian Badak Jawa berlangsung lebih cepat dan efisien dibanding sebelumnya.

Respon cepat ini tidak terlepas berkat adanya Unit Monitoring Badak dan Unit Ksehatan Badak yang menjadi tulang punggung pengelolaan populasi badak jawa di Ujung Kulon.

Baca juga: Sudan, Badak Putih Jantan Terakhir di Dunia Jatuh Sakit

Proses koordinasi  Balai TNUK bersama para mitra termasuk WWF-Indonesia mampu merespon secara cepat proses penanganan mulai dari evakuasi, investigasi forensik yang melibatkan tenaga ahli dari pihak Universitas hingga proses publikasi sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau