KOMPAS.com - Dua hari lagi, tepatnya Sabtu (21/04/2018), kita akan memperingati hari Kartini. Salah satu hal yang dirayakan pada hari tersebut adalah emansipasi atau kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Dengan perjuangan R.A Kartini di masa lalu, perempuan Indonesia saat ini bisa merasakan pendidikan tinggi bahkan juga bekerja di luar rumah.
Meski bisa bekerja di luar rumah, perempuan akan tetap menjadi istri dan ibu ketika kembali ke rumah. Dengan kata lain, perempuan masih punya kewajiban lain.
Bagi para ibu, meski bekerja, tetap harus memberikan Air Susu Ibu (ASI) pada anak-anaknya. Untuk membantu hal ini, kini kita mengenal penemuan bernama pompa ASI atau juga dikenal dengan breast pump.
Baca juga: Terbukti, Daun Katuk Tingkatkan Produksi ASI pada Ibu Menyusui
Pompa ASI menjadi penemuan yang tak ternilai karena memungkinkan ibu menyusui berpergian, tetap bekerja, dan menghindari infeksi.
Zaman Kuno
Namun, tahukah Anda, pompa ASI ternyata sudah ada sejak zaman Yunani Kuno?
Perempuan di Yunani kuno menggunakan alat yang disebut gutti untuk memompa ASI. Gutti terbuat dari semacam cangkir keramik yang merupakan pompa sekaligus botol susu.
Cara penggunaannya, para ibu harus mengisi cangkir dengan air dan meletakkannya di atas puting. Selanjutnya, air tersebut akan dibuang sehingga menciptakan efek vakum atau sedotan yang lemah.
Inilah yang memaksa sejumlah kecil susu keluar dari payudara dan tertampung pada cangkir.
Dalam perkembangannya, orang Romawi kemudian membuat pompa ASI yang lebih canggih. Mereka menciptakan gelas pengisap dari alat-alat gelas yang bekerja seperti sedotan.
Dengan alat ini, para ibu harus memegang ujung bagian yang berbentuk bohlam sambil mengisap tabung kaca yang mirip sedotan hingga air susu keluar.
Dipatenkan
Setelah masa Yunani dan Romawi Kuno, pompa ASI kembali digunakan pada abad ke-17. Pompa ini digunakan menyusul seringnya perempuan menggunakan korset dan menyebabkan putingnya datar.
Saat itu, alat yang digunakan adalah perangkat yang berbentuk mirip pipa rokok.