Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemenkes Belum Terima Surat Resmi dari IDI untuk Uji Terapi Terawan

Kompas.com - 10/04/2018, 19:05 WIB
Shela Kusumaningtyas,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kemarin, Senin (9/4/2018), Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menunda sementara pemberian hukuman terhadap Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Mayjen TNI Terawan Agus Putranto.

Rekomendasi Majelis Etik Kehormatan Kedokteran tentang pemberhentian sementara dari anggota IDI dan pencabutan rekomendasi praktik Terawan  selama 12 bulan dari 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019 ditangguhkan sementara oleh IDI.

Keputusan ini sekaligus menegaskan bahwa dokter Terawan masih anggota IDI. Ini ditetapkan setelah IDI menggelar Rapat Majelis Pimpinan Pusat (MPP) PB IDI pada Minggu (8/4/2018).

Selama penangguhan tersebut, PB IDI akan melibatkan Kementerian Kesehatan melalui Health Technology Assessment (HTA) untuk menguji metode pengobatan yang dilakukan oleh Terawan. 

HTA merupakan lembaga di bawah Kementerian Kesehatan yang bertugas menguji teknologi pengobatan kesehatan yang terbaru.

Baca juga : Antara Rompi Kanker Warsito dan Cuci Otak Terawan

"MPP merekomendasikan penilaian terhadap tindakan terapi dengan metode DSA atau brainwash dilakukan oleh tim HTA Kementerian Kesehatan RI," ujar Marsis di Kantor PB IDI, Jakarta, pada Senin (9/4/2018).

Kemenkes belum menerima surat resmi

Namun, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan, Untung Suseno Sutarjo, mengaku belum menerima surat resmi dari PB IDI untuk menguji metode terapi Terawan. Pihaknya masih menunggu surat tersebut diajukan oleh PB IDI untuk menindaklanjuti kisruh terapi Terawan.

“Kita mau tahu apa yang diinginkan IDI. Kemkes sudah menyiapkan tim HTA,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Selasa (10/4/2018).

Surat resmi tersebut harus memuat kejelasan permintaan yang diharapkan IDI terkait HTA terhadap terapi Terawan. “Harus paham cara kerja tim HTA seperti apa. Harus jelas apa yang akan dikaji. Tugas mereka banyak. Sehingga harus jelas,” tegasnya.

“Makanya harus ada permintaan apa yang diharapkan. Seperti yang sudah saya sampaikan, HTA Kemkes difokuskan untuk mendukung JKN,” imbuhnya.

Baca juga : Riset Ilmiah Dianggap Solusi Polemik Cuci Otak ala Terawan

Untung berkata bahwa apa yang diketahuinya berdasarkan keputusan yang dikeluarkan dan ditetapkan MKEK, yakni Terawan melanggar etika karena mengiklankan diri dan menyatakan dirinya yang terbaik. Sementara itu, terapi DSA (Digital Subtraction Angiogram) selama ini telah diterapkan di banyak rumah sakit untuk didiagnosis.

Oleh karena itu, dia pun mempertanyakan apa yang mau diuji oleh tim HTA, dan belum bisa memastikan kapan tim HTA itu akan bekerja maupun kapan hasilnya akan keluar.

DSA untuk pengobatan

Sementara itu, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi), Prof Dr dr Moh Hasan Machfoed, SpS(K), MS berpendapat bahwa terapi cuci otak yang diklaim Terawan bukanlah metode baru.

Namun, istilah yang dipakai bukanlah cuci otak melainkan Digital Substraction Angogram (DSA). Terawan, sebutnya, hanya mengubah nama dari metode tersebut sebagai bentuk promosi.

Tak hanya menyayangkan pengubahan nama itu, Hasan pun menentang kalau DSA yang seharusnya sebagai alat diagnosis, bukan alat penyembuhan, dipakai sebagai alat pencegahan stroke seperti yang dilakukan Terawan selama ini.

“DSA itu untuk mengetahui kelainan pembuluh darah di otak, bukan untuk pengobatan dan pencegahan,” tegasnya saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (4/4/2018).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com