KOMPAS.com - Dalam tiga dekade terakhir, populasi serangga di cagar alam Jerman anjlok lebih dari 75 persen.
Ahli biologi menamai fenomea ini sebagai windshield phenomenon (fenomena kaca depan mobil). Menurut mereka, ini merupakan gejala dari populasi yang lenyap.
"Seperti yang kita tahu, saya pikir kita semua terganggu dan kita semua melihat lebih sedikit serangga," kata Scott Black, direktur eksekutif dari Oregon, Xerces Society, kelompok lingkungan nirlana yang mempromosikan konservasi serangga, seperti dikutip dari Science Alert, Jumat (20/10/2017).
Padahal, serangga memiliki manfaat yang besar untuk manusia.
"Jika Anda suka makan buah dan sayuran bergizi, Anda harus berterima kasih pada serangga. Jika Anda menyukai salmon, Anda bisa mengucapkan terima kasih pada lalat yang dimakan salmon muda," kata Black.
BACA: Jangan Usir Mereka, 3 Jenis Serangga Ini Berharga bagi Rumah Anda
Fenomena ini bukan hanya isapan jempol belaka. Beberapa peneliti terdorong untuk melakukan riset untuk memperlihatkan berkurangnya serangga.
"Fenomena kaca depan mungkin salah satu cara ilustratif terbaik untuk menyadari bahwa kita berhadapan dengan pengurangan serangga terbang," kata Casper Hallmann, ahli ekologi dari Universitas Radboud, Belanda.
Hallmann merupakan bagian dari tim yang ikut meningkatkan populasi serangga selama 27 tahun di cagar alam Jerman, mulai dari tawon parasit sampai hoverflies dan lebah liar di lusinan cagar alam.
Dia juga menjadi salah satu penulis dalam jurnal More than 75 percent decline over 27 years in total flyinginsect biomass in protected areas yang diterbitkan secara online Rabu (18/10/2017) di PLOS One.
Di sana tertulis, antara 1989 sampai 2016, biomassa serangga terbang yag ditangkap di Jerman mengalami penurunan sampa 76 persen.
Dalam beberapa tahun terakhir, mereka melihat penurunan tajam dalam tangkapan mereka, dengan biomassa turun sekitar 82% di musim panas saat populasi serangga seharusnya mencapai puncaknya.
BACA: Manusia Masa Depan Mungkin Harus Makan Serangga dan Rumput
"Rupanya saat populasi serangga semestinya mencapai puncak, justru penurunannya paling parah. Sayangnya, kami tidak tahu mengapa," kata Hallman.
Bekerja sama dengan ilmuwan dari Belanda dan Inggris, mereka melakukan riset di 63 lokasi hutan lindung yang ada di Jerman. Meliputi padang rumput, rawa, bukit pasir, tanah tandus, lahan semak, dan sepanjang pemukiman.