Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

Pemberitaan Reynhard Sinaga, Maukah Kita Membayar untuk Jurnalisme Berkualitas?

Kompas.com - 10/01/2020, 17:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WAKTU berita soal Reynhard Sinaga "breaking", salah satu jenis komentar yang muncul dari warga Indonesia adalah perbandingan cara media Inggris dan Indonesia ketika menulisnya.

Ujaran-ujaran di Twitter di antaranya, "Ngapain sih rumahnya pakai difoto segala", "Headline berita lokal bikin geleng-geleng semua, miris dengan jurnalistik Indonesia".

Tidak salah sih komentarnya, tetapi sayangnya cuma sampai di situ saja. Tidak ada yang bertanya mengapa itu terjadi. Kalau pun ada, komentarnya adalah "wartawan Indonesia enggak punya pengetahuan".

Walaupun sangat mungkin ada wartawan yang tak berpengetahuan, ada satu faktor lain - dan mungkin jarang mau dilihat karena orang menganggap media adalah public service dan informasi akurat itu gratis - yang berpengaruh besar, yaitu model bisnis media.

Baca juga: Polisi Inggris Terima Aduan Baru, Korban Pemerkosaan Reynhard Sinaga Bisa Bertambah

Ada empat model bisnis umum media. Pertama, yang mengandalkan donor, misalnya Kantor Berita Antara dari pemerintah, dan The Conversation Indonesia dari swasta.

Kedua, yang mengandalkan iklan, misalnya Kompas.com. Ketiga, yang mengandalkan pembaca lewat subscription maupun donasi, misalnya The Guardian.

Keempat, ialah gabungan dua atau lebih model bisnis sebelumnya, misalnya harian Kompas yang sumber dananya dari iklan maupun langganan.

Dulu saat koran masih dipajang di dinding kelurahan, media dapat penghasilan besar dari iklan. Saat ini meski bisnis digital naik, kue iklan di media massa online di Indonesia hanya 17 persen.

Baca juga: Lewat Kasus Reynhard Sinaga, Membayangkan Trauma Korban Pemerkosaan

Sebagian besar lari ke raksasa teknologi macam Google dan Facebook. Model bisnis yang semula mapan pun goyah dan pelaku media sekarang pusing, "Bagaimana harus mempertahankan media dan independensinya?"

Media Inggris, Indonesia, dan inovasinya

Mari kita lihat cara BBC, The Guardian, dan Manchester Evening News dalam berbisnis. Tiga media ini merupakan yang terbaik saat melaporkan kasus Reynhard.

Abaikan media seperti Daily Mail dan The Sun, sebab walaupun di kolase foto yang beredar di media sosial mereka tampak bagus, sejatinya dalam berita lanjutan tak beda jauh dengan media di Indonesia.

Sebagian besar dana BBC bersumber dari lisensi TV atau semacam iuran TV warga Inggris yang diatur pemerintah dan disetujui parlemen.

Besarannya lisensi TV sekitar Rp 2,7 juta per tahun per KK kalau TV-nya berwarna dan Rp 900 ribu jika hitam putih, bisa naik sesuai inflasi.

Siapa pun yang punya TV tetapi mangkir dari iuran bisa diperkarakan. Tahun 2018, dana yang terkumpul dari iuran ini adalah Rp 66 triliun.

Meski kini masih menjanjikan, model ini pun terancam karena anak-anak muda Inggris kini meninggalkan televisi. Uang mereka lari ke Netflix, Amazon Video, dan lainnya.

Bahkan baru-baru ini, perdana menteri Inggris, Boris Johnson, mempertanyakan apakah BBC memang harus terus minta iuran?

BBC sendiri juga berinovasi lewat donasi dan unit bisnis lain seperti BBC Media Action yang per 2018 mendapat Rp 637 miliar dari ragam donor, termasuk donasi individu.

The Guardian yang hampir berusia 200 tahun didanai oleh The Scott Trust. Media ini lama rugi, melakukan efisiensi, menjual media anakannya.

Memasuki era digital, tantangan bertambah. Tahun 2014, The Guardian memperkenalkan model membership di mana anggota bisa berdonasi untuk mendukung liputan-liputan mendalam yang dilakukannya.

April 2019, The Guardian punya 655.000 member untuk format cetak dan digital serta 300.000 orang yang berkontribusi sekali-sekali.

Dari merugi 57 juta tiga tahun sebelumnya, The Guardian pada 2019 mencatat keuntungan sebesar 800.000 pounds dan menyatakan break even point dengan model bisnis hasil inovasinya. Liputannya berkualitas, Panama Paper yang ramai tahun 2016 lalu salah satunya.

Manchester Evening News (MEN) lama menjadi grup Guardian hingga 2010 dijual kepada Trinity Mirror (kini Reach).

Dengan penduduk Manchester Raya sekitar 2,8 juta jiwa, menurut data Audit Bureau of Circulation (ABC), media yang eksis dalam bentuk cetak dan online itu punya subscriber 3.500. Sebanyak 15.000-an eksemplar dibagikan gratis di kota Manchester dan 14.000-an dijual ke wilayah pinggiran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com