Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

Pemberitaan Reynhard Sinaga, Maukah Kita Membayar untuk Jurnalisme Berkualitas?

Kompas.com - 10/01/2020, 17:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Secara konten, MEN punya pendekatan unik, salah satunya memanfaatkan kompetisi antara Manchester United dan Manchester City. Segala update soal dua klub bola itu ada.

Berkat perusahaan di belakangnya yang cukup sehat dan subscriber, MEN ini bisa menjadi media regional terbesar di Inggris sekaligus melakukan liputan berkualitas seperti bom Manchester Arena pada 2017 dan kasus Reynhard.

Di Indonesia, kita kenal sejumlah media berpengaruh. Sebagian besar media online dan televisi mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama. Akses beritanya gratis.

Media cetak lama seperti harian Kompas, Tempo, Jakarta Post berusaha beradaptasi ke digital dengan model subscription. Media lain yang gratis dan iklannya sedikit atau tidak ada biasanya memiliki donor.

Model bisnis dan kualitas konten

Dari uraian di atas, kelihatan bahwa media-media Inggris yang mampu melakukan liputan berkualitas didukung oleh bisnis yang tangguh. Dan, ketangguhan bisnis itu didukung oleh pembaca atau warga Inggris.

Memang, ada saja kritik orang soal lisensi TV. Jumlah orang yang subscribe ke media juga masih sedikit. Tapi jumlahnya kini bisa dibilang mencukupi untuk mendukung operasional.

Di Indonesia sebaliknya. Setelah era digital, orang berpikir bahwa kebebasan informasi sama dengan informasi akurat, terpercaya, dan berimbang yang gratis.

Maka dari itu, model subscription sampai sekarang belum menjanjikan bagi media. Meski harus berebut kue iklan yang sedikit, mengejar iklan lebih memungkinkan daripada meminta orang membayar berita.

Masalahnya, untuk mendapat iklan, media harus dipandang cukup berdampak. Salah satu indikator utamanya adalah jumlah pembaca alias pageview.

Jadilah media berlomba-lomba mengejarnya. Judul clickbait, konten remeh temeh, dan berita yang menguliti menjadi salah satu wujudnya. Ironisnya, orang tetap klik dan baca. Walaupun akhirnya berujung menghina, klik dari pembaca tetap terhitung.

Di Inggris, media yang mengejar iklan adalah Daily Mail. Sejak ekspansi ke digital pada 2010 lewat Mail Online, pimpinan media ini sudah bilang: mendingan kejar kuantitas pembaca dan iklan besar daripada menarget subscriber dan pasar niche.

Meski diblok Wikipedia karena ketidakakuratannya, media ini menorehkan sejarah pada 2018 karena revenue iklan digitalnya melampaui cetak, sebesar Rp 2,2 triliun, dengan total waktu pembaca di situsnya 145 menit.

BBC, The Guardian, dan MEN sebaliknya, fokus mengejar kualitas berita. Dalam kasus Reynhard, dua media itu mampu mendudukkan kasus sebagai kriminal perkosaan.

Tidak ada label orientasi seksual dan negara asal. Berita lanjutan kasus tersebut juga fokus pada hal-hal penting, misalnya banyaknya kasus perkosaan pada laki-laki dan mengajak korban perkosaan untuk melaporkan diri sehingga bisa mendapat dukungan psikologis.

Mungkinkah membuat konten yang lebih berkualitas walaupun mengejar iklan? Pembuatan konten berkualitas mungkin.

Faktanya, itu dilakukan. Detik punya DetikX dan Kompas.com punya Visual Interaktif Kompas.com (VIK) dan JEO, yang semuanya berisi artikel longform.

Untuk JEO, meski orang bisa bertahan lebih dari 30 menit untuk membaca, tidak banyak jumlah pembacanya. Demikian juga produk Kompas.com lainnya, yaitu VIK.

Untuk mengejar jumlah pageview, harus ada konten yang menarik bagi pembaca. Dalam kasus Reynhard, yang menarik adalah latar belakangnya.

Terbukti, banyak orang di medial sosial bertanya dan mem-posting soal di mana dia kuliah saat S-1. Sampai ada yang buka buku alumni dan post fotonya. Ditambah dengan faktor mudahnya mencari latar belakang, maka kita melihatlah berita-berita menguliti.

Mungkin ada yang bertanya, "Apa tidak ada hal lain yang menarik?" Jawabannya ada.

Misalnya bahwa pria pun bisa menjadi korban pemerkosaan, entah pelakunya pria juga atau wanita. Tapi ini butuh waktu lebih banyak. Tidak setiap wartawan punya privilege waktu karena di tengah bisnis yang belum stabil, tuntutan untuk bekerja cepat itu besar.

Wartawan MEN, Beth Abbit, pun mengakui, keberhasilannya membuat laporan berkualitas salah satunya berkat dukungan pimpinannya.

"Saya harus menyebut bahwa bos saya di @MENnewsdesk memberi waktu saya meliput kasus Reynhard Sinaga dengan benar, memungkinkan saya duduk di pengadilan tiap hari meskipun harus menunggu lebih dari setahun untuk beritanya," demikian katanya di Twitter.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com