Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/02/2019, 12:58 WIB
Amir Sodikin

Editor

Oleh: Edy Sudiono*

KONFLIK orangutan, acap dilihat sebagai gangguan yang mengakibatkan kerugian hasil tanaman perkebunan, dan ancaman bagi masyarakat sekitar. Padahal orangutan sesungguhnya takut pada manusia, sangat jarang mereka melempari manusia, kecuali diprovokasi.

Kasus yang biasanya terjadi bila orangutan bertemu dengan manusia adalah mereka mengeluarkan suara (high-squeak atau kiss-squeak atau long calls) pada saat terancam. Justru perilaku manusialah seringkali mengakibatkan peningkatan angka perjumpaan antara manusia dengan kera besar ini.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia adalah dokumen pedoman nasional untuk membahas nasib kera besar bernama latin Pongo sp. ini.

Perhelatan untuk menyusun dokumen SRAK usai pada Oktober 2018 lalu, dengan salah satu usulan bahwa di tahun 2022, sekitar 75 persen orangutan yang berada di pusat rehabilitasi dapat dilepasliarkan dan tidak ada lagi yang masuk ke Pusat Rehabilitasi.

Baca juga: Orangutan di Kalimantan Masih Punya Harapan Lestari

Diharapkan, tidak ada lagi aktivitas di pusat rehabilitasi. Usulan yang cukup ambisius, mengingat masih tingginya konflik antara orangutan dan manusia (KMO).

KMO adalah segala interaksi antara manusia dan orangutan yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial, ekonomi, atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi/lingkungan atau budaya orang utan atau konservasi orangutan dan lingkungannya (Kementerian Kehutanan, 2008).

Pada periode 2015-2017, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kalimantan Timur telah menangani 20 kasus konflik orangutan. Upaya tersebut merupakan jerih kerja sama Balai Konservasi dengan Satgas Mitigasi Konflik Orangutan-Manusia, pusat rehabilitasi Borneo Orangutan Survival Foundation, Yayasan Jejak Pulang dan Centre for Orangutan Protection.

Hingga 2017, masih terdapat 192 individu orangutan yang ditampung di lembaga-lembaga konservasi tersebut. Individu-individu orangutan tersebut adalah buah dari KMO yang kerap terjadi pada habitat yang berbatasan dengan pusat aktivitas manusia.

Menggunakan analisis GLOBIO (Global Methodology for Mapping Human Impact on the Biosphere), Nelleman dan Newton (2002) memperkirakan pada tahun 2030, sebesar 99 persen habitat orangutan akan terpengaruh oleh aktivitas manusia, dengan tingkatan antara sedang hingga tinggi.

Prediksi ini menunjukkan potensi meningkatnya konflik antara orangutan dan manusia akan semakin sering terjadi di masa depan.

Akibat serius dari sebuah konflik adalah terciptanya pandangan negatif dan ketakutan di masyarakat, yang diikuti dengan tindakan balasan manusia untuk mencederai atau bahkan membunuh orangutan demi melindungi sumber daya yang digunakan oleh masyarakat, maupun sebagai usaha bela diri (Campbell-Smith 2007; Pusey et al.2007).

Terjadinya konflik juga bisa memicu tambahan biaya bagi perusahaan, baik dari biaya hukuman (penalti atau sejenisnya), biaya penyelamatan, biaya rehabilitasi dan operasional tambahan untuk pemantauan pascarelokasi dan pemeliharaaan satuan tugas (Utami-Atmoko et al., 2014; Yuwono et al., 2007).

Lalu, bagaimana mengelola konflik ini? Jalan keluar terbaik adalah melindungi habitat dan populasi orangutan.

Aktivitas terbesar orangutan adalah makan dan istirahat (Morrogh-Bernard et al., 2009). Melindungi habitat tempat aktivitas terbesar orangutan, sebenarnya cukup untuk pelestarian orangutan di habitatnya dalam jangka panjang.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau