Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Berdamai dalam Konflik Orangutan

Oleh: Edy Sudiono*

KONFLIK orangutan, acap dilihat sebagai gangguan yang mengakibatkan kerugian hasil tanaman perkebunan, dan ancaman bagi masyarakat sekitar. Padahal orangutan sesungguhnya takut pada manusia, sangat jarang mereka melempari manusia, kecuali diprovokasi.

Kasus yang biasanya terjadi bila orangutan bertemu dengan manusia adalah mereka mengeluarkan suara (high-squeak atau kiss-squeak atau long calls) pada saat terancam. Justru perilaku manusialah seringkali mengakibatkan peningkatan angka perjumpaan antara manusia dengan kera besar ini.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia adalah dokumen pedoman nasional untuk membahas nasib kera besar bernama latin Pongo sp. ini.

Perhelatan untuk menyusun dokumen SRAK usai pada Oktober 2018 lalu, dengan salah satu usulan bahwa di tahun 2022, sekitar 75 persen orangutan yang berada di pusat rehabilitasi dapat dilepasliarkan dan tidak ada lagi yang masuk ke Pusat Rehabilitasi.

Diharapkan, tidak ada lagi aktivitas di pusat rehabilitasi. Usulan yang cukup ambisius, mengingat masih tingginya konflik antara orangutan dan manusia (KMO).

KMO adalah segala interaksi antara manusia dan orangutan yang mengakibatkan pengaruh negatif pada kondisi sosial, ekonomi, atau budaya manusia, serta kondisi sosial, ekologi/lingkungan atau budaya orang utan atau konservasi orangutan dan lingkungannya (Kementerian Kehutanan, 2008).

Pada periode 2015-2017, Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kalimantan Timur telah menangani 20 kasus konflik orangutan. Upaya tersebut merupakan jerih kerja sama Balai Konservasi dengan Satgas Mitigasi Konflik Orangutan-Manusia, pusat rehabilitasi Borneo Orangutan Survival Foundation, Yayasan Jejak Pulang dan Centre for Orangutan Protection.

Hingga 2017, masih terdapat 192 individu orangutan yang ditampung di lembaga-lembaga konservasi tersebut. Individu-individu orangutan tersebut adalah buah dari KMO yang kerap terjadi pada habitat yang berbatasan dengan pusat aktivitas manusia.

Menggunakan analisis GLOBIO (Global Methodology for Mapping Human Impact on the Biosphere), Nelleman dan Newton (2002) memperkirakan pada tahun 2030, sebesar 99 persen habitat orangutan akan terpengaruh oleh aktivitas manusia, dengan tingkatan antara sedang hingga tinggi.

Prediksi ini menunjukkan potensi meningkatnya konflik antara orangutan dan manusia akan semakin sering terjadi di masa depan.

Akibat serius dari sebuah konflik adalah terciptanya pandangan negatif dan ketakutan di masyarakat, yang diikuti dengan tindakan balasan manusia untuk mencederai atau bahkan membunuh orangutan demi melindungi sumber daya yang digunakan oleh masyarakat, maupun sebagai usaha bela diri (Campbell-Smith 2007; Pusey et al.2007).

Terjadinya konflik juga bisa memicu tambahan biaya bagi perusahaan, baik dari biaya hukuman (penalti atau sejenisnya), biaya penyelamatan, biaya rehabilitasi dan operasional tambahan untuk pemantauan pascarelokasi dan pemeliharaaan satuan tugas (Utami-Atmoko et al., 2014; Yuwono et al., 2007).

Lalu, bagaimana mengelola konflik ini? Jalan keluar terbaik adalah melindungi habitat dan populasi orangutan.

Aktivitas terbesar orangutan adalah makan dan istirahat (Morrogh-Bernard et al., 2009). Melindungi habitat tempat aktivitas terbesar orangutan, sebenarnya cukup untuk pelestarian orangutan di habitatnya dalam jangka panjang.

Namun, bila habitatnya dirusak, maka kemampuan bertahan hidup mereka di jangka panjang akan terganggu. Orangutan membutuhkan wilayah yang luas untuk memastikan suplai yang cukup akan konsumsi buah-buahan.

Sementara itu, fakta di lapangan sebagian besar hutan tempat tinggal orangutan sudah terfragmentasi oleh pemegang konsesi baik perkebunan, pertambangan, maupun pengelolaan hutan.

Menjembatani antara kepentingan ekonomi dan konservasi, bukan hal yang mustahil. Yang diperlukan di sini adalah keterpaduan perencanaan tata ruang untuk mengamankan rumah asli orangutan.

Seperti penentuan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) di wilayah perusahaan yang mempertimbangkan konektivitas (seperti koridor) dengan kawasan hutan alam yang lebih luas.

Begitupun para pemegang konsesi yang terpaksa membuka hutan, sebaiknya tidak menimbulkan kantong-kantong hutan yang terfragmentasi. Kemudian, diterapkannya prinsip praktik pengelolaan terbaik pada setiap unit pengelola.

Secara bersamaan, di tingkat lapangan juga terus dilakukan pendidikan dan penyadartahuan, restorasi habitat, pembuatan penghalang (barrier), patroli kawasan, dan penegakan hukum. Semua kegiatan tersebut, pada prinsipnya adalah mengurangi risiko kerugian yang diderita oleh manusia, dengan dasar pertimbangan terbaik untuk kelestarian orangutan.

Kebijakan pengelolaan kawasan ekosistem esensial (KEE) yang digagas oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah mengadopsi prinsip-prinsip di atas. Pada konsep ini, para pihak yang berada di wilayah ekologis penting bagi konservasi keanekaragaman hayati (tapi berada di luar kawasan konservasi), baku kelola.

Kawasan esensial ini, mudah ditemui di seluruh penjuru Indonesia, misalnya wilayah mangrove dan karst yang berada di luar taman nasional atau hutan lindung.

Pada kasus orangutan Kalimantan Timur, sejumlah pihak dari swasta, pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat bergabung dalam forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) untuk mengelola koridor jelajah orangutan dengan pendekatan bentang alam di Wehea-Kelay.

Luasan bentang alam adalah 532.143 hektar, di dalamnya ada hutan lindung Wehea, areal konsesi pengelolaan hutan dan pengelolaan kebun sawit. Namun, orangutan masih bisa melenggang dengan leluasa dari areal perusahaan ke hutan lindung dan sebaliknya.

Kebebasan ini adalah jerih dari kesepakatan anggota Forum KEE dalam menjaga habitat orangutan di wilayah masing-masing. Para pemegang konsesi dengan pemeliharaan kawasan bernilai konservasi tinggi-nya dan masyarakat dengan hutan lindungnya.

Mereka memahami pentingnya keberadaan orangutan dan apa yang harus dilakukan jika bertemu dengan mamalia endemik Nusantara ini.

Bila bertemu dengan orangutan secara langsung, para anggota forum termasuk masyarakat sudah memahami konsep mitigasinya.

Pertama, adalah mengumpulkan informasi: lokasi penemuan, spesies orangutan, pelapor, fasilitas kesehatan dan kantor keamanan terdekat, serta pemuka masyarakat setempat. Kemudian memverifikasi Informasi: bagaimana mereka mendapatkan orangutan, berapa lama memilikinya, diberi makan apa saja, apakah ini orangutan pertama yang dipelihara, apakah ada orangutan yang dipelihara di tempat lain.

Terakhir, adalah menangani konflik: laporkan data-data verifikasi ke pihak berwenang (polisi atau BKSDA). Jika pihak berwenang belum datang, maka dilakukan pemantauan keberadaan orangutan (penjagaan daerah penyangga dan penghalauan). Para anggota forum sudah melakukan aktivitas mitigasi konflik ini.

Skema KEE ternyata berhasil, indikatornya adalah tidak adanya kasus kematian orangutan secara tidak wajar di wilayah ini. Kematian yang ada, karena memang kematian alamiah.

Hasil kajian Population and Habitat Viability Assessment Orangutan (PHVA) 2016 menunjukkan bahwa orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus morio) tersebar di 17 metapopulasi (kelompok-kelompok individu di dalam populasi).

Dari 17 metapopulasi tersebut, enam (6) di antaranya berada di Provinsi Kalimantan Timur. Enam metapopulasi orang utang terbagi berdasarkan kondisi habitatnya. Kondisi habitat yang masih baik bisa ditemukan bentang alam Kutai-Bontang dan bentang alam (Wehea-Kelay serta Sungai Lesan).

Pada kawasan Sangkulirang dan Belayan-Senyiur, kondisi habitat orangutannya masuk dalam kategori menengah. Adapun orangutan di Sungai Wein dan Beratus, habitatnya paling buruk se-Kalimantan Timur.

Berdasarkan PHVA, kawasan Wehea-Kelay masuk dalam habitat yang masih baik untuk orangutan. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip dasar pengelolaan konflik terpenuhi bahwa risiko kerugian manusia bisa dikurangi tanpa menganggu orangutan.

(*Edy Sudiono, bekerja sebagai Manajer Kemitraan The Nature Conservancy Indonesia untuk Indonesia Terrestrial Program di Kalimantan Timur.)

https://sains.kompas.com/read/2019/02/19/125828423/berdamai-dalam-konflik-orangutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke