Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampanye KFC #BudayaBerberes Tuai Polemik, Begini Kata Psikolog Sosial

Kompas.com - 17/01/2019, 17:32 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Restoran cepat saji KFC meluncurkan kampanye bertagar #BudayaBerberes sejak Februari 2018 hingga saat ini.

Meski sudah hampir setahun berjalan, kampanye ini ramai dibicarakan dan menimbulkan pro kontra beberapa hari belakangan, terutama setelah akun Facebook resmi KFC Indonesia membuat status yang berisi ajakan untuk melestarikan budaya beberes.

"Sejak kecil kita udah diajarin sebenernya untuk selalu beberes setelah makan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, budaya ini sudah mulai jarang. Kita lestarikan lagi budaya beberes, yuk! Dari sekarang, kita mulai budaya beberes setelah makan!" tulis KFC, Minggu (13/1/2019).

Hingga Kamis (17/1/2019) pukul 13.00 WIB setidaknya sudah ada 697 komentar yang menanggapi status tersebut.

Baca juga: Pro Kontra Netizen untuk Kampanye #BudayaBeberes KFC

"Warteg aja 10 ribu komplit ga perlu ngembaliin piring ke ibunya masa di KFC beres beres," kata salah satu netizen di Facebook, Hassan Rizky.

Ada juga netizen di Twitter Fikri Ttaufan yang menuliskan, "Udah KFC hengkang aja ke negara maju... @KFCINDONESIA, jangan pakai dalih budaya buat peningkatan Omset, you serves we pay!" komentar tersebut lantas disukai 84 orang.

Beberapa komentar warganet terhadap kampanye KFC Beberes Makan di media sosial.KFC Indonesia Beberapa komentar warganet terhadap kampanye KFC Beberes Makan di media sosial.

Selain kontra, ada pula warganet yang sangat pro dengan ajakan ini. Meski di akhir kalimat tersemat nada sombong dalam komentarnya.

"Terima kasih KFC untuk mengingatkan kembali. Karena budaya beberes setelah makan walaupun sudah berlaku di IKEA cafe dan beberapa foodcourt di Indonesia dengan cara menaruh signboard or tentcard ternyata masih banyak pemalas dengan meninggalkan meja bekas makan joroknya luar biasa (kebayang rumahnya pasti jorok bgt). Dan tidak heran kalau di Jepang dan negara2 lain tourist Indonesia dicap sebagai tourist paling jorok," tulis salah satu netizen, Gabriella.

Kata Psikolog

Terkait semua komentar pedas itu, mengapa ada orang yang seperti tidak sudi melakukan hal sederhana dan mengapa ada beberapa kalangan yang pro justru merasa dirinya lebih baik dibanding mereka yang tidak melakukannya?

Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi psikolog sosial Rizqy Amelia Zein. Setelah Amel melihat pro kontra yang terjadi di media sosial, hal tersebut mengindikasikan dua hal.

"Yang pertama terlintas di kepala saya adalah soal empati," kata Amel dihubungi Kompas.com via telepon, Kamis (17/1/2019).

Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan.

Dosen pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya, itu menjelaskan, dalam psikologi konsep empati sebenarnya sudah muncul sebelum empati itu sendiri.

Tahapan pertamanya, apakah orang dapat mengenali emosi orang lain. "Jadi misalnya ada teman atau saudara sedang sedih, apakah saya bisa merasakan kesedihannya dan tahu bahwa ia sedang sedih, misalnya," jelasnya memberi contoh.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau