KOMPAS.com - Restoran cepat saji KFC meluncurkan kampanye bertagar #BudayaBerberes sejak Februari 2018 hingga saat ini.
Meski sudah hampir setahun berjalan, kampanye ini ramai dibicarakan dan menimbulkan pro kontra beberapa hari belakangan, terutama setelah akun Facebook resmi KFC Indonesia membuat status yang berisi ajakan untuk melestarikan budaya beberes.
"Sejak kecil kita udah diajarin sebenernya untuk selalu beberes setelah makan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, budaya ini sudah mulai jarang. Kita lestarikan lagi budaya beberes, yuk! Dari sekarang, kita mulai budaya beberes setelah makan!" tulis KFC, Minggu (13/1/2019).
Hingga Kamis (17/1/2019) pukul 13.00 WIB setidaknya sudah ada 697 komentar yang menanggapi status tersebut.
Baca juga: Pro Kontra Netizen untuk Kampanye #BudayaBeberes KFC
"Warteg aja 10 ribu komplit ga perlu ngembaliin piring ke ibunya masa di KFC beres beres," kata salah satu netizen di Facebook, Hassan Rizky.
Ada juga netizen di Twitter Fikri Ttaufan yang menuliskan, "Udah KFC hengkang aja ke negara maju... @KFCINDONESIA, jangan pakai dalih budaya buat peningkatan Omset, you serves we pay!" komentar tersebut lantas disukai 84 orang.
"Terima kasih KFC untuk mengingatkan kembali. Karena budaya beberes setelah makan walaupun sudah berlaku di IKEA cafe dan beberapa foodcourt di Indonesia dengan cara menaruh signboard or tentcard ternyata masih banyak pemalas dengan meninggalkan meja bekas makan joroknya luar biasa (kebayang rumahnya pasti jorok bgt). Dan tidak heran kalau di Jepang dan negara2 lain tourist Indonesia dicap sebagai tourist paling jorok," tulis salah satu netizen, Gabriella.
Kata Psikolog
Terkait semua komentar pedas itu, mengapa ada orang yang seperti tidak sudi melakukan hal sederhana dan mengapa ada beberapa kalangan yang pro justru merasa dirinya lebih baik dibanding mereka yang tidak melakukannya?
Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi psikolog sosial Rizqy Amelia Zein. Setelah Amel melihat pro kontra yang terjadi di media sosial, hal tersebut mengindikasikan dua hal.
"Yang pertama terlintas di kepala saya adalah soal empati," kata Amel dihubungi Kompas.com via telepon, Kamis (17/1/2019).
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan.
Dosen pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya, itu menjelaskan, dalam psikologi konsep empati sebenarnya sudah muncul sebelum empati itu sendiri.
Tahapan pertamanya, apakah orang dapat mengenali emosi orang lain. "Jadi misalnya ada teman atau saudara sedang sedih, apakah saya bisa merasakan kesedihannya dan tahu bahwa ia sedang sedih, misalnya," jelasnya memberi contoh.
Setelah mengenali emosi orang lain, tahapan selanjutnya manusia akan membayangkan apa yang akan dirasakan saat sedih.
"Setelah itu akan menjadi empati dan akan menjadi perilaku menolong," paparnya.
Berkaitan dengan pro kontra kampanye #BudayaBerberes yang digaungkan KFC, Amel melihat persoalan di sini sebenarnya sederhana, yakni mengapa kita harus membereskan makanan.
"Kalau saya lihat di (kolom) komentarnya, itu enggak salah juga. Memang orang datang ke sana untuk makan dan perusahan juga membayar cleaner. Sebenarnya diberesin atau enggak (oleh konsumen) juga akan tetap dibersihin cleaner, enggak salah juga," ucapnya.
"Ketika kita melakukan itu, seenggaknya kita dapat membantu orang yang melakukan pekerjaannya menjadi lebih mudah," imbuhnya.
Dengan banyaknya komentar yang menegaskan seseorang tidak mau melakukan hal sederhana, hal ini menunjukkan orang tersebut tidak bisa membayangkan bagaimana efeknya untuk orang lain bila melakukan sesuatu yang kecil dan sederhana.
Amel mengatakan, ada banyak penelitian yang menemukan bahwa mayoritas orang normal dan tidak memiliki gangguan kejiwaan juga memiliki kemampuan yang baik untuk mengenali emosi orang lain.
Lantas apakah yang membuat beberapa orang yang bisa merasakan emosi orang lain memilih untuk mengabaikannya?
"Persoalannya adalah, jangan-jangan orang itu menolak untuk melakukan hal yang baik atau melakukan hal yang berkaitan dengan membantu kemudahan orang lain. Itu persoalannya bisa jadi pada diri mereka sendiri," jelasnya.
"Artinya mereka enggak bisa membanyangkan kalau orang lain bakal senang ketika mereka melakukan sesuatu yang baik. Karena mereka (yang tidak mau melakukannya) bisa jadi dalam kondisi yang sedang tidak baik," ungkapnya.
Sedang ada di kondisi tidak baik bukan berarti sedang mengalami gangguan kepribadian.
Kondisi tidak baik yang dimaksud Amel adalah saat seseorang sedang mengalami depresi, kesusahan, stres, mood buruk, atau memiliki beban pikiran yang berat.
"Mereka tidak mungkin bisa mengubah orientasinya kepada orang lain. Bayangan mereka soal diri mereka sendiri, jadi enggak mungkin mereka bergerak kemana-mana, kecuali tentang dirinya sendiri," imbuhnya.
Sehingga, orang yang kontra terkait ajakan KFC Indonesia, Amel melihatnya mungkin ada indikasi mereka sedang memiliki masalah dengan dirinya sendiri sehingga tidak dapat memikirkan orang lain.
Mereka bukan hanya enggan membereskan sampah makanan sendiri. Amel melihat, kemungkinan besar orang-orang ini juga tidak akan mau membantu orang lain dalam berbagai hal.
Kemudian tentang mereka yang pro dan justru meremehkan orang lain, Amel melihat ini indikasi perilaku buruk juga.
Hal ini mungkin karena mereka sempat memiliki pengalaman tinggal di sebuah lingkungan yang menganggap kampanye seperti yang dilakukan KFC sangat biasa, kemudian di Indonesia ternyata muncul pro kontra.
"Ini yang kemudian mungkin membuat anggapan bahwa masyarakat Indonesia terbelakang," katanya.
Untuk itu, menurutnya orang yang pro tapi meremehkan dan menjelekkan mereka yang kontra, memiliki perilaku yang sama buruknya seperti orang yang enggan melakukan hal sederhana.
Bagaimana sebaiknya menanggapi hal ini?
Menurut Amel, edukasi semacam ini sebenarnya penting dan yang terjadi di sini adalah adanya dua kubu ekstrem.
"Tapi sebenarnya yang di antara keduanya kan masih banyak juga," ujarnya.
Ia sendiri mengapresiasi apa yang dilakukan KFC Indonesia.
Amel berpendapat, nantinya akan ada dan banyak orang yang perilakunya berubah seiring dengan kampanye semacam ini digalakkan.
"Atau sederhananya ketika karyawan KFC melihat konsumen membereskan makanannya sendiri dan mengungkapkan terima kasih, reward positif semacam ini mungkin akan membuat konsumen merasa perilakunya dihargai dan ia akan merasa senang karena membuat orang lain menjadi senang. Ini akan membuat orang berpikir bahwa perilaku tersebut adalah yang benar dilakukan," tutupnya.
Baca juga: Sesat Pikir Jokowi dan Prabowo dalam Sebulan Kampanye Pilpres 2019
Kata KFC Indonesia
Seperti diberitakan sebelumnya, Hendra Yuniarto selaku General Manager Marketing KFC Indonesia yang dihubungi KompasTravel, Rabu (16/1/2019), menjelaskan bahwa kampanye #BudayaBeberes merupakan wujud kepedulian KFC Indonesia terhadap kelestarian lingkungan dengan cara mengedukasi konsumen akan pentingnya upaya pemilahan sampah.
Jika dibandingkan dengan KFC di luar negeri, memang banyak yang konsumennya sudah terbiasa membereskan sendiri sampah sisa bersantap mereka. Hal ini didukung oleh kebiasaan mereka memilah sampah sejak di rumah.
"Oleh karena itu, kami berharap konsumen di Indonesia juga dapat menjadikan hal ini sebagai kebiasaan dan kami harapkan KFC Indonesia mampu menjadi pionir di restoran cepat saji yang menyebarkan ide positif untuk memulai kebiasaan seperti di luar negeri," kata Yuniarto.
Ia juga mengatakan, lewat kampanye #BudayaBerberes KFC berharap konsumen dapat memilah sampah dan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan. Tidak hanya di KFC tetapi juga di restoran lain, bahkan di rumah sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.