Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Sesat Pikir Jokowi dan Prabowo dalam Sebulan Kampanye Pilpres 2019

Kompas.com - 23/10/2018, 10:22 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Ahmad Junaidi

KOMPAS.com - Kampanye pemilihan presiden (pilpres) 2019 resmi dimulai 23 September lalu dan akan berakhir pada bulan April tahun depan.

Kedua kubu, calon presiden petahana Joko “Jokowi” Widodo dan lawannya Prabowo Subianto, sudah mulai berkampanye menjajakan janji-janji politik mereka kepada calon pemilih.

Hampir satu bulan masa kampanye berjalan, saya menemukan banyak kekeliruan berlogika dalam argumen-argumen politik kedua kubu.

Pengamatan saya berdasarkan pengalaman menjadi dosen yang telah memeriksa logika argumen dalam esai mahasiswa dan menjadi juri lomba debat selama 8 tahun.

Kampanye sarat pesan dengan logika salah

Kekeliruan berlogika, atau logical fallacy bisa kita maknai sebagai kesalahan dalam penalaran yang sering kali muncul karena ketidakmampuan seseorang menghasilkan pernyataan yang memenuhi kaidah argumentasi logis dalam proses penyimpulan kebenaran.

Baik kubu Jokowi dan Prabowo sering kali mengeluarkan pernyataan dengan logika yang salah.

Jokowi dalam pidatonya pada 8 April 2018 berujar: “Sekarang isunya ganti. Isu kaos. Ganti presiden 2019. Ya kan? Pake kaos. Masak kaos bisa ganti presiden? Yang bisa ganti presiden itu rakyat!”

Dalam pernyataan tersebut, Jokowi mereduksi ‘kaos’ dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang akan secara fisik melakukan penggantian terhadap dirinya. Padahal para pengusung usulan gerakan #2019gantipresiden hanya memaknai kaos sebagai sebuah medium fisik semiotika politik. Jokowi salah menginterpretasi, baik sengaja atau tidak sengaja, pokok utama argumentasi sehingga memudahkan dirinya untuk menyerang lawan.

Prabowo juga tidak luput dari blunder.

Dalam sebuah forum Prabowo berorasi dengan pernyataan: “Elite kita ini merasa bahwa 80 persen tanah seluruh negara dikuasai 1 persen rakyat kita, tidak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai 1 persen, ndak apa-apa. Bahwa sebagian besar kekayaan kita diambil ke luar negeri, tidak tinggal di Indonesia, tidak apa-apa. Ini yang merusak bangsa kita, saudara-saudara sekalian”

Titik kekeliruan yang menjadi fokus di sini bukan hanya perihal ‘1 persen menguasai 80 persen tanah Indonesia’, tetapi juga perihal Prabowo yang membingkai sikap ‘elite’ pemerintah dengan kata ‘tidak apa-apa’.

Baca juga: Soal Matematika SD China Tersebar, Bisakah Anda Menjawabnya?

Artinya ‘elite’ tersebut tidak berkeberatan atau berbuat apa-apa atas kerugian negara. Apakah benar para elite tidak peduli? Jika mutlak benar pernyataan tersebut, Prabowo bisa saja tak melakukan kesalahan berlogika. Tetapi, kepedulian pemerintah terhadap aset negara masih dalam ranah perdebatan yang tak selesai, sehingga tidak boleh disampaikan sebagai kemutlakan.

Sesat pikir yang menular

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau