KOMPAS.com – Lumba-lumba dikenal sebagai binatang yang "ramah" bahkan dijadikan sebagai alat terapi karena diyakini memiliki gelombang sinyal positif dan baik untuk kesehatan manusia. Terlebih, lumba-lumba terlihat lembut dan memiliki wajah yang selalu "tersenyum".
Bentuk mulut lumba-lumba yang melebar ke sisi belakang memang menimbulkan kesan dia sedang tersenyum.
Dilansir dari Reader's Digest, yang terlihat pada seekor lumba-lumba sebenarnya bukan sebuah senyuman. Itu adalah ilusi anatomis dari bentuk rahang mereka, yang kemudian membuat orang-orang percaya bahwa lumba-lumba selalu ramah.
Lumba-lumba saat ini banyak berada di penangkaran atas alasan medis dan penyembuhan. Mereka tidak merasa bahagia, namun justru banyak dirugikan atas kesalahpahaman manusia yang sudah ada sejak zaman dahulu terhadap kemampuan mereka.
Sampai saat ini belum ada bukti kuat bahwa lumba-lumba efektif untuk digunakan dalam terapi penyembuhan, termasuk terhadap autisme.
Baca juga: Tidak Kalah dari Manusia, Lumba-lumba Juga Bisa Romantis
Kepercayaan manusia terhadap kemampuan lumba-lumba sebagai binatang penyembuh sudah ada sejak lama. Pada zaman Romawi-Yunani kuno, lumba-lumba kerap dikaitkan dengan dewa-dewi.
Dalam mitologi Yunani Kuno, disebutkan bahwa Putra Poseidon, Taras, diselamatkan dari sebuah kecelakaan kapal oleh seekor lumba-lumba yang dikirim ayahnya.
Nenek moyang suku Celtics menganggap lumba—lumba memiliki kemampuan ajaib dalam hal penyembuhan. Kepercayaan ini juga dimiliki orang Norwegia kuno.
Berselang waktu, orang-orang Brazil malah memperdagangkan bagian tubuh lumba-lumba untuk dijadikan bahan pengobatan.
Baca juga: Ahli Ungkap Perasaan Lumba-lumba yang Hidup di Penangkaran
Namun, orang yang paling berperan dalam anggapan tentang lumba-lumba dapat digunakan sebagai terapi penyembuhan adalah John C Lilly. Ahli neurologi itu menjadi orang yang menyatakan bahwa ada kemampuan lumba-lumba dalam terapi penyembuhan.
John C Lilly melakukan pengamatan kepada interaksi lumba-lumba dengan anak penderita autisme.
Pernyataan John C Lilly menjadi dasar penggunaan dolphin-assisted therapy, yang kemudian menimbulkan munculnya banyak penangkaran lumba-lumba untuk terapi.
Akan tetapi, dilansir dari laman The Verge, peneliti dari Emory University di Atlanta, Amerika Serikat, Lori Marino mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menyebutkan lumba-lumba bisa dimanfaatkan sebagai terapi penyembuhan.
Menurut Lori Marino, memang ada penelitian di Australia yang menyebut bahwa berenang dengan lumba-lumba dapat mengurangi rasa cemas. Namun, menurut Marino, penelitian itu berdasarkan pada kuesioner terhadap 168 orang sehat.