Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik "Senyum" Lumba-lumba, dari Mitos Penyembuhan hingga Obyek Hiburan

Kompas.com - 15/11/2018, 10:28 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.comLumba-lumba dikenal sebagai binatang yang "ramah" bahkan dijadikan sebagai alat terapi karena diyakini memiliki gelombang sinyal positif dan baik untuk kesehatan manusia. Terlebih, lumba-lumba terlihat lembut dan memiliki wajah yang selalu "tersenyum".

Bentuk mulut lumba-lumba yang melebar ke sisi belakang memang menimbulkan kesan dia sedang tersenyum.

Dilansir dari Reader's Digest, yang terlihat pada seekor lumba-lumba sebenarnya bukan sebuah senyuman. Itu adalah ilusi anatomis dari bentuk rahang mereka, yang kemudian membuat orang-orang percaya bahwa lumba-lumba selalu ramah.

Lumba-lumba saat ini banyak berada di penangkaran atas alasan medis dan penyembuhan. Mereka tidak merasa bahagia, namun justru banyak dirugikan atas kesalahpahaman manusia yang sudah ada sejak zaman dahulu terhadap kemampuan mereka.

Sampai saat ini belum ada bukti kuat bahwa lumba-lumba efektif untuk digunakan dalam terapi penyembuhan, termasuk terhadap autisme.

Baca juga: Tidak Kalah dari Manusia, Lumba-lumba Juga Bisa Romantis

Mitos penyembuhan

Berinteraksi langsung bersama Wei, lumba-lumba botol yang ada di Dolphin Island, Resort World Sentosa. Istimewa Berinteraksi langsung bersama Wei, lumba-lumba botol yang ada di Dolphin Island, Resort World Sentosa.

Kepercayaan manusia terhadap kemampuan lumba-lumba sebagai binatang penyembuh sudah ada sejak lama. Pada zaman Romawi-Yunani kuno, lumba-lumba kerap dikaitkan dengan dewa-dewi.

Dalam mitologi Yunani Kuno, disebutkan bahwa Putra Poseidon, Taras, diselamatkan dari sebuah kecelakaan kapal oleh seekor lumba-lumba yang dikirim ayahnya.

Nenek moyang suku Celtics menganggap lumba—lumba memiliki kemampuan ajaib dalam hal penyembuhan. Kepercayaan ini juga dimiliki orang Norwegia kuno.

Berselang waktu, orang-orang Brazil malah memperdagangkan bagian tubuh lumba-lumba untuk dijadikan bahan pengobatan.

Baca juga: Ahli Ungkap Perasaan Lumba-lumba yang Hidup di Penangkaran

Namun, orang yang paling berperan dalam anggapan tentang lumba-lumba dapat digunakan sebagai terapi penyembuhan adalah John C Lilly. Ahli neurologi itu menjadi orang yang menyatakan bahwa ada kemampuan lumba-lumba dalam terapi penyembuhan.

John C Lilly melakukan pengamatan kepada interaksi lumba-lumba dengan anak penderita autisme.

Pernyataan John C Lilly menjadi dasar penggunaan dolphin-assisted therapy, yang kemudian menimbulkan munculnya banyak penangkaran lumba-lumba untuk terapi.

Akan tetapi, dilansir dari laman The Verge,  peneliti dari Emory University di Atlanta, Amerika Serikat, Lori Marino mengatakan bahwa tidak ada bukti yang menyebutkan lumba-lumba bisa dimanfaatkan sebagai terapi penyembuhan.

Menurut Lori Marino, memang ada penelitian di Australia yang menyebut bahwa berenang dengan lumba-lumba dapat mengurangi rasa cemas. Namun, menurut Marino, penelitian itu berdasarkan pada kuesioner terhadap 168 orang sehat.

Lori Marino pun menyatakan bahwa pendekatan terapi lumba-lumba untuk penyembuhan berdasarkan kepercayaan lama atau mitos belaka.

Mengakar di masyarakat

Bermain dengan lumba-lumba di Dolphin Island Resort World Sentosa, Singapura.ARSIP RESORT WORLD SENTOSA Bermain dengan lumba-lumba di Dolphin Island Resort World Sentosa, Singapura.

Tidak hanya digunakan untuk terapi penyembuhan, lumba-lumba sebagai hewan cerdas pun dimanfaatkan oleh industri hiburan.

Menurut Reader's Digest, Awal mula mamalia laut ini ditangkap untuk dilibatkan dalam sebuah industri terjadi pada 1860 oleh Phineas Taylor Barnum, di Amerika Serikat. PT Barnum menggunakan lumba-lumba sebagai obyek tontonan yang menghasilkan uang.

Dalam budaya populer, kisah PT Barnum menjadi inspirasi pembuatan film The Greatest Showman (2017).

Namun, industri ini mulai banyak dikenal masyarakat pada 1960-1970-an. Saat itu lumba-lumba mulai diajari untuk bermain sirkus, drama, menari dan sebagainya, sehingga menghibur siapa saja yang menyaksikannya.

Pada 1964, sebuah program TV berjudul Flipper tayang. Flipper merupakan nama seekor lumba-lumba hidung botol yang berasal dari sebuah teluk kecil. Ia berhasil menyelamatkan dua orang pemuda dari bahaya dengan menggunakan siripnya.

Namun, kemudian muncul kekhawatiran sejumlah orang bahwa popularitas lumba-lumba yang semakin meningkat juga berpotensi mengancam kelestariannya.

Sebagai dampak dari kekhawatiran ini, sejumlah taman hiburan yang menggunakan lumba-lumba sebagai bagian dari atraksinya mengubah nama menjadi pusat konservasi dan pembelajaran. Mereka tak ingin dianggap hanya memanfaatkan lumba-lumba sebagai obyek hiburan.

Di sana, mereka mengajari masyarakat untuk menjaga dan melindungi keberadaan lumba-lumba. Sayangnya, antusiasme masyarakat terhadap lumba-lumba masih berlanjut.

Baca juga: MIrip Manusia, Paus dan Lumba-lumba Ternyata Juga Berbudaya

Sebenarnya sejumlah otoritas dan instansi menyediakan sarana agar masyarakat bisa berinteraksi langsung dengan lumba-lumba di habitat aslinya, yaitu laut lepas.  

Namun, hingga saat ini masih banyak orang yang memilih berinteraksi dengan lumba-lumba di kolam-kolam atau tangki-tangki penangkaran.

Orang-orang menganggap pengalamannya berenang bersama lumba-lumba di kolam atau tangki penangkaran merupakan hal menyenangkan yang mengubah cara hidup mereka.

Tak hanya itu, masih banyak juga orang yang menikmati atraksi lumba-lumba di taman hiburan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com