BENGKULU, KOMPAS.COM - "Apa PLTU berbahan bakar batubara akan beroperasi di Bengkulu? Kapan? Wah mengerikan, apalagi nanti polusinya dibawa angin ke pemukiman penduduk ya," ungkap Abul Khair seorang dokter spesialis anak mengawali perbincangan, saat ditemui Kompas.com, Selasa (11/9/2018).
Abul Khair mengaku khawatir bila PLTU beroperasi, terutama penyakit turunan yang ditimbulkan polusi.
Dia memprediksi, penyakit sesak napas dan paru akan meningkat tajam, khususnya di kalangan anak-anak.
"Akan banyak warga terserang sakit paru, sesak napas. Saat paru bermasalah, maka asupan oksigen ke seluruh organ tubuh bermasalah (dan) dapat menyerang kekebalan tubuh," ujarnya dengan mimik wajah khawatir.
Baca juga: Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Ibu Kota
Ketika tubuh kekurangan suplai oksigen ditambah kekebalan tubuh menurun, maka seseorang akan mudah ditunggangi penyakit turunan seperti kanker paru, stroke, penyakit jantung, dan infeksi saluran pernapasan, termasuk pneumonia.
Dari pengalamannya di lapangan, ada banyak anak yang tinggal di lingkungan pabrik punya riwayat sesak napas hingga paru-paru. Kondisi semakin parah saat lingkungan rumah tidak memiliki sirkulasi udara yang baik.
Kekhawatiran Abul sejalan dengan data Greenpeace yang mengungkap kondisi udara di Indonesia tergolong buruk. Sumber polusinya berasal dari asap kendaraan, PLTU, industri, hingga dari pemukiman warga.
Jakarta, misalnya. Pada 18 Juli 2018, polusi udara di Jakarta tercatat berada di peringkat pertama terburuk atau tidak sehat dibanding negara-negara lain di dunia. Hal ini berdasarkan aplikasi AirVisual yang mengumpulkan data kualitas udara di kota-kota besar di dunia.
"PLTU di sekitar Kota Jakarta adalah pembunuh senyap yang menyebabkan kematian dini sekitar 5.260 jiwa rakyat Indonesia per tahun. Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi 10.680 jiwa per tahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU baru di sekitar Jakarta," ungkap Bondan Andriyanu, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Di hari yang sama, BMKG menyebut bahwa konsentrasi PM10 di Jakarta sempat mencapai 171 µg/m3. Jumlah ini melebihi ambang batas konsentrasi polusi udara di luar ruangan, yakni 150 µg/m3. Di atas ambang batas 150 µg/m3 artinya udara sudah tidak sehat.
Tingginya tingkat polusi udara tidak hanya dirasakan Jakarta. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016, ada lebih dari 80 persen negara di seluruh dunia yang mengalami pencemaran udara melebihi ambang batas.
Untuk itu, WHO merekomendasikan agar negara-negara menurunkan tingkat polusi udara tahunan mereka menjadi 20 µg/m3 (PM10) dan 10 µg/m3 (dalam PM2,5).
WHO menegaskan, polusi udara adalah ancaman yang sangat berbahaya dan telah menyebabkan sekitar tujuh juta orang meninggal dunia setiap tahunnya.
Sebuah analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) tahun 2016 bahkan memperkirakan, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini 60.000 orang di Indonesia.
Baca juga: Tak Hanya Pernapasan, Polusi Udara Juga Mengancam Ginjal Kita
Kematian akibat polusi udara umumnya terjadi di negara miskin dan berkembang. Dari total 9 juta kematian, sebanyak 6,5 juta kematian diakibatkan oleh pencemaran udara. Lalu, hampir setengah dari total angka itu berasal dari dua negara dengan penduduk terbanyak, yakni India dan China.