Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejamnya Pembunuh Senyap Polusi Udara dan Tips Melawannya

Kompas.com - 16/09/2018, 13:39 WIB
Firmansyah,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.COM - "Apa PLTU berbahan bakar batubara akan beroperasi di Bengkulu? Kapan? Wah mengerikan, apalagi nanti polusinya dibawa angin ke pemukiman penduduk ya," ungkap Abul Khair seorang dokter spesialis anak mengawali perbincangan, saat ditemui Kompas.com, Selasa (11/9/2018).

Abul Khair mengaku khawatir bila PLTU beroperasi, terutama penyakit turunan yang ditimbulkan polusi.

Dia memprediksi, penyakit sesak napas dan paru akan meningkat tajam, khususnya di kalangan anak-anak.

"Akan banyak warga terserang sakit paru, sesak napas. Saat paru bermasalah, maka asupan oksigen ke seluruh organ tubuh bermasalah (dan) dapat menyerang kekebalan tubuh," ujarnya dengan mimik wajah khawatir.

Baca juga: Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Ibu Kota

Ketika tubuh kekurangan suplai oksigen ditambah kekebalan tubuh menurun, maka seseorang akan mudah ditunggangi penyakit turunan seperti kanker paru, stroke, penyakit jantung, dan infeksi saluran pernapasan, termasuk pneumonia.

Dari pengalamannya di lapangan, ada banyak anak yang tinggal di lingkungan pabrik punya riwayat sesak napas hingga paru-paru. Kondisi semakin parah saat lingkungan rumah tidak memiliki sirkulasi udara yang baik.

Data Greenpeace, BMKG, dan WHO

Kekhawatiran Abul sejalan dengan data Greenpeace yang mengungkap kondisi udara di Indonesia tergolong buruk. Sumber polusinya berasal dari asap kendaraan, PLTU, industri, hingga dari pemukiman warga.

Jakarta, misalnya. Pada 18 Juli 2018, polusi udara di Jakarta tercatat berada di peringkat pertama terburuk atau tidak sehat dibanding negara-negara lain di dunia. Hal ini berdasarkan aplikasi AirVisual yang mengumpulkan data kualitas udara di kota-kota besar di dunia.

"PLTU di sekitar Kota Jakarta adalah pembunuh senyap yang menyebabkan kematian dini sekitar 5.260 jiwa rakyat Indonesia per tahun. Angka tersebut diperkirakan akan melonjak menjadi 10.680 jiwa per tahun seiring dengan rencana pembangunan PLTU baru di sekitar Jakarta," ungkap Bondan Andriyanu, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.

Di hari yang sama, BMKG menyebut bahwa konsentrasi PM10 di Jakarta sempat mencapai 171 µg/m3. Jumlah ini melebihi ambang batas konsentrasi polusi udara di luar ruangan, yakni 150 µg/m3. Di atas ambang batas 150 µg/m3 artinya udara sudah tidak sehat.

Tingginya tingkat polusi udara tidak hanya dirasakan Jakarta. Menurut catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2016, ada lebih dari 80 persen negara di seluruh dunia yang mengalami pencemaran udara melebihi ambang batas.

Untuk itu, WHO merekomendasikan agar negara-negara menurunkan tingkat polusi udara tahunan mereka menjadi 20 µg/m3 (PM10) dan 10 µg/m3 (dalam PM2,5).

WHO menegaskan, polusi udara adalah ancaman yang sangat berbahaya dan telah menyebabkan sekitar tujuh juta orang meninggal dunia setiap tahunnya.

Sebuah analisis terbaru dari International Energy Agency (IEA) tahun 2016 bahkan memperkirakan, polusi udara bertanggung jawab atas kematian dini 60.000 orang di Indonesia.

Baca juga: Tak Hanya Pernapasan, Polusi Udara Juga Mengancam Ginjal Kita

Kematian akibat polusi udara umumnya terjadi di negara miskin dan berkembang. Dari total 9 juta kematian, sebanyak 6,5 juta kematian diakibatkan oleh pencemaran udara. Lalu, hampir setengah dari total angka itu berasal dari dua negara dengan penduduk terbanyak, yakni India dan China.

Data ini dipaparkan dalam The Lancet medical journal, yang dilansir kantor berita AFP. Negara dengan pembangunan industri yang cepat seperti India, Pakistan, China, Banglades, Madagaskar, dan Kenya, tercatat memiliki akumulasi dampak polusi hingga satu orang dari setiap empat kematian.

Polusi Udara, Kesehatan, dan Perubahan Iklim

Polusi udara memicu perubahan iklim, sebaliknya perubahan iklim juga memperparah polusi udara.

Studi yang dipimpin Patrick Kinney, profesor kesehatan perkotaan Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Boston, Amerika Serikat menunjukkan, parahnya polusi udara tetap terjadi walau hanya faktor perubahan suhu yang diperhitungkan.

Perubahan iklim menaikkan suhu rata-rata Bumi. Suhu tinggi meningkatkan kabut asap. Partikel ozon dalam kabut asap akan terbentuk lebih cepat pada suhu tinggi.

Karena itu, perubahan iklim dan polusi udara berdampak bolak-balik.

Polusi udara tak hanya dihasilkan dari aktivitas manusia, seperti pabrik, tetapi juga kebakaran hutan dan lahan. Asap kebakaran itu bisa menetap lama di atmosfer. "Partikel polutan udara berlaku sama seperti asap rokok," kata Kinney.

Kasus kebakaran hutan dan gambut juga menjadi salah satu faktor tingginya polusi udara di Indonesia.

Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) Sudibyakto, kebakaran hutan dan gambut dapat merusak ekosistem lahan tropika basah dan mempercepat proses perubahan iklim.

World Resources Institute (WRI) menyebut, kebakaran hutan dan gambut di Indonesia menghasilkan emisi harian yang lebih besar daripada Emisi Perekonomian AS secara keseluruhan.

Kondisi ini semakin meningkatkan lonjakan emisi gas rumah kaca karena gambut adalah salah satu penyimpan karbon tertinggi di bumi, yang tertimbun selama ribuan tahun.

Universitas Harvard dan Columbia menyatakan ada 100.300 kasus kematian yang disebabkan oleh kebakaran hutan di Indonesia pada September sampai Oktober 2015. Dari jumlah itu diperkirakan 91.600 kematian ada di Indonesia, 2.200 kasus kematian di Singapura, dan 6.500 kasus kematian di Malaysia.

Baca juga: Dibanding Eropa dan Amerika, Polusi Udara di Asia 9 Kali Lebih Tinggi

Tips jaga kesehatan hadapi perubahan iklim dan polusi udara

Dokter Spesialis anak senior di Bengkulu, Abul Khair, memberikan tips untuk menjaga kesehatan akibat perubahan iklim dan polusi udara.

Hal yang paling penting menurutnya dari sisi kesehatan adalah mengupayakan peningkatan kekebalan tubuh dengan imunisasi.

"Imunisasi penting untuk kekebalan tubuh, seperti imunisasi flu, malaria, dan lain-lain. Memang ini mahal, namun harus diupayakan. Lebih baik kalau pemerintah memberikan gratis seperti di beberapa negara maju," ujarnya.

"Selain itu faktor lingkungan tempat tinggal harus baik dan bersih, dan tidak kalah penting asupan gizi".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com