KOMPAS.com — Dalam beberapa minggu terakhir, media sosial diramaikan dengan pembahasan gaya bicara anak Jaksel. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa gado-gado antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Situs Spredfast mencatat ada lebih dari 52.000 tweet mengenai "anak jaksel" maupun dengan tagar #anakjaksel di Twitter sepanjang dua pekan pertama September.
Tapi, perlukah kita khawatir dengan munculnya gaya bahasa ini?
Menurut pakar linguistik Universitas Indonesia Bernadette Kushartanti, ini adalah risiko kontak bahasa.
Baca juga: Bahasa Gado-gado, Lepas Sejenak dari Norma dan Tabu yang Mengekang
"Hal ini tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Korea, bahasa gaul, bahasa macam-macam yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari," kata Bernadette saat dihubungi BBC News Indonesia.
"Saya tidak mengatakan bahwa ini tidak mengkhawatirkan, tapi kita harus melihatnya dari dua sisi," kata Bernadette.
"Di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi di sisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal, maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing," kata perempuan bergelar doktor itu.
Tugas para pengajar atau generasi sebelumnya adalah menjelaskan bahwa anak muda harus punya kemampuan membedakan konteks pemakaian bahasa.
Pada konteks apa seseorang harus menggunakan bahasa baku, dan kapan boleh menggunakan bahasa gaul yang dicampur dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris.
"Lo beli itu tadi berapa harganya?"
Anak Jakut: "lima puluh ribu"
Anak Jaktim: "mapuluhrebu"
Anak Jaksel: "around fifty thousand gitu deh"
Anak Jakbar: pic.twitter.com/gPIr0ipWdR
— Chiko™ (@heychiko) September 2, 2018
"Pendidikan tentang bahasa juga harus membicarakan soal kesantunan, cara menyampaikan pendapat, yang runut dan sebagainya. Itu adalah tugas pendidik untuk mengarahkan agar anak-anak muda tetap punya pengetahuan bahasa dengan struktur yang rapi," kata dia.
"Dalam keadaan informal kalau terlalu formal, aneh juga, kan. Kita pakai bahasa gaul biar akrab, bahasa ini sebetulnya yang mengkrabkan kita," kata Bernadette Kushartanti.
Bahasa asing juga dinilainya tidak menjadi faktor yang meningkatkan ancaman pada bahasa daerah.
"Ketika bahasa Indonesia muncul pun bahasa daerah sudah mulai ditinggalkan," kata dia.
Menurutnya, memang ada kekhawatiran bahwa bahasa daerah bisa luntur.
"Tapi tergantung bahasa yang mana."