Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Kita Perlu Khawatir dengan Penggunaan Bahasa "Anak Jaksel"?

Kompas.com - 13/09/2018, 11:15 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor


KOMPAS.com — Dalam beberapa minggu terakhir, media sosial diramaikan dengan pembahasan gaya bicara anak Jaksel. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa gado-gado antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.

Situs Spredfast mencatat ada lebih dari 52.000 tweet mengenai "anak jaksel" maupun dengan tagar #anakjaksel di Twitter sepanjang dua pekan pertama September.

Tapi, perlukah kita khawatir dengan munculnya gaya bahasa ini?

Menurut pakar linguistik Universitas Indonesia Bernadette Kushartanti, ini adalah risiko kontak bahasa.

Baca juga: Bahasa Gado-gado, Lepas Sejenak dari Norma dan Tabu yang Mengekang

 
 
 
View this post on Instagram
 
 

Mall. Jakarta. ???????? #overheardjkt by @rexyechi ????????

A post shared by Overheard Jakarta (@overheardjkt) on Sep 6, 2018 at 9:00pm PDT

"Hal ini tidak bisa dihindari karena memang ada interaksi setiap bahasa. Ada bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Korea, bahasa gaul, bahasa macam-macam yang membuat perkembangan bahasa seperti ini tidak bisa dihindari," kata Bernadette saat dihubungi BBC News Indonesia.

"Saya tidak mengatakan bahwa ini tidak mengkhawatirkan, tapi kita harus melihatnya dari dua sisi," kata Bernadette.

"Di satu sisi kita membutuhkan cara untuk tetap mengungkapkan bahasa dengan benar, tapi di sisi lain, bahasa juga punya fungsi. Kalau terlalu formal, maka pada situasi tertentu kita akan menjadi terasing," kata perempuan bergelar doktor itu.

Tugas para pengajar atau generasi sebelumnya adalah menjelaskan bahwa anak muda harus punya kemampuan membedakan konteks pemakaian bahasa.

Pada konteks apa seseorang harus menggunakan bahasa baku, dan kapan boleh menggunakan bahasa gaul yang dicampur dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris.


"Pendidikan tentang bahasa juga harus membicarakan soal kesantunan, cara menyampaikan pendapat, yang runut dan sebagainya. Itu adalah tugas pendidik untuk mengarahkan agar anak-anak muda tetap punya pengetahuan bahasa dengan struktur yang rapi," kata dia.

"Dalam keadaan informal kalau terlalu formal, aneh juga, kan. Kita pakai bahasa gaul biar akrab, bahasa ini sebetulnya yang mengkrabkan kita," kata Bernadette Kushartanti.

Bahasa asing juga dinilainya tidak menjadi faktor yang meningkatkan ancaman pada bahasa daerah.

"Ketika bahasa Indonesia muncul pun bahasa daerah sudah mulai ditinggalkan," kata dia.

Menurutnya, memang ada kekhawatiran bahwa bahasa daerah bisa luntur.

"Tapi tergantung bahasa yang mana."

Selama bahasa daerah tersebut masih punya sumber tertulis, ada penuturnya, dan ada kebanggaan terhadap bahasa daerah itu, kemungkinan besar bahasa tersebut masih akan bertahan.

"Yang perlu dikhawatirkan adalah bahasa-bahasa yang penuturnya sangat sedikit dan tidak ada sumber tertulisnya," kata dia.

Warganet pun tak ketinggalan memberikan contoh penggunaan bahasa Inggris yang dicampur dengan bahasa daerah.

Kata Ivan Lanin

Ivan Lanin, penulis buku Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?, berpendapat bahwa pencampuran bahasa dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.

"Kecenderungan menyukai sesuatu yang asing bukan hanya terjadi di bahasa, melainkan juga di segala hal lain. Dengan bicara dicampur, mereka berusaha menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi," kata Ivan saat bicara pada BBC News Indonesia.

Dia menjelaskan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi akhir-akhir ini, tapi sudah sejak dulu.

"Sejak zaman penjajahan Belanda pun bahkan pendiri negara juga bicara bahasa campuran, tapi yang dicampur bahasa Belanda dan bahasa daerah," kata dia.

Ivan pun sepakat dengan pernyataan Bernadette bahwa pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa lain belum masuk tahap mengkhawatirkan jika masih dipakai dalam ragam percakapan.

"Jika mereka mulai memakainya dalam ragam formal, baru kita boleh mulai khawatir," kata Ivan yang juga dikenal sebagai "aktivis" bahasa Indonesia di media sosial.

Di media sosial, Ivan selalu menggunakan bahasa baku, sebab dia ingin menjadi contoh bahwa seseorang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tanpa menjadi kaku.

"Tapi sebenarnya di Twitter bahasanya tertulis tapi menirukan model percakapan, jadi cara berbicaranya pun tergantung lawan bicara," kata dia.

Dengan teman akrab atau sebaya, pengguna Twitter bisa saja menggunakan bahasa informal, tapi tetap bisa berbahasa formal dengan orang yang tidak dikenal atau tokoh-tokoh terkemuka.

Orang Indonesia, kata Ivan, rata-rata bisa bicara setidaknya tiga bahasa. "Ini berkah, tapi juga PR untuk menyeimbangkan ketiga bahasa tersebut," kata Ivan.

Jerome Wirawan, warga Jakarta yang lahir dan besar di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa kebiasaan bicara yang dicampur dengan bahasa Inggris tidak ada saat dia masih sekolah era 1980-an.

"Saya ingat bahwa ketika saya sekolah, tahun 80-an, saya satu-satunya anak di kelas yang tahu apa itu singkatan OPEC dan bisa mengucapkannya dengan jelas," kata Jerome.

Saat itu, bahasa Inggris mulai diajarkan di sekolah menengah pertama, tapi tidak di Sekolah Dasar.

Beberapa warganet beranggapan bahwa cara berbahasa seperti ini hanya dilakukan oleh para kelas menengah di Jakarta Selatan.

Kata ekonom

Menurut ekonom INDEF, Bhima Yudhistira, Jakarta adalah pusat pertumbuhan ekonomi nasional, dan pusat pertumbuhan bisnis Indonesia.

"Sekitar 70 persen uang beredar di Jakarta. Jika ada perbaikan karena ekonomi nasional naik, maka dampaknya akan pertama terasa di Jakarta," kata dia.

Dari seluruh wilayah yang ada di Jakarta, sebenarnya Jakarta Selatan bukan pusat perekonomian. Jakarta Utara mendorong pertumbuhan dengan perdagangan, konstruksi, properti dan pelabuhan tersibuk di Indonesia, Tanjung Priuk.

Di Jakarta Timur, pertumbuhan properti terus meningkat, ditambah dengan aktivitas industri di beberapa kawasan, termasuk Pulo Gadung.

Jakarta Selatan justru bukan kawasan yang menjadi pusat ekonomi, tapi justru kawasan konsumtif.

"Profil ekonomi Jakarta Selatan memang sejak dulu terkenal dengan kawasan kelas menengah, dan ketimpangan sosialnya lebih rendah dibandingkan Jakarta Utara," kata Bhima.

Baca juga: Belajar Bahasa dan Musik Bikin Otak Lebih Sehat, Ini Alasannya

Di Jakarta Utara, ketimpangan ekonomi sempat menimbulkan konflik dan menjadi bom waktu.

"Misalnya, kasus 4 November 2017 ketika ada demo yang berujung dengan penjarahan beberapa minimarket," kata dia.

Sementara itu, di Jakarta Selatan berkembang bisnis leisure, yang mengutamakan gaya hidup, gaya berpakaian dan pergaulan.

"Meskipun kelas menengahnya sebenarnya begitu-begitu saja, tidak terlalu berkembang, tapi ketimpangannya antara kaya dan miskin tidak ekstrem, se-ekstrem Jakarta Utara," kata dia.

Nah, demikian explanation Bhima Yudhistira. Do you understand atau tidak?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com