Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apakah Kita Perlu Khawatir dengan Penggunaan Bahasa "Anak Jaksel"?

Kompas.com - 13/09/2018, 11:15 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

Selama bahasa daerah tersebut masih punya sumber tertulis, ada penuturnya, dan ada kebanggaan terhadap bahasa daerah itu, kemungkinan besar bahasa tersebut masih akan bertahan.

"Yang perlu dikhawatirkan adalah bahasa-bahasa yang penuturnya sangat sedikit dan tidak ada sumber tertulisnya," kata dia.

Warganet pun tak ketinggalan memberikan contoh penggunaan bahasa Inggris yang dicampur dengan bahasa daerah.

Kata Ivan Lanin

Ivan Lanin, penulis buku Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?, berpendapat bahwa pencampuran bahasa dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi.

"Kecenderungan menyukai sesuatu yang asing bukan hanya terjadi di bahasa, melainkan juga di segala hal lain. Dengan bicara dicampur, mereka berusaha menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi," kata Ivan saat bicara pada BBC News Indonesia.

Dia menjelaskan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi akhir-akhir ini, tapi sudah sejak dulu.

"Sejak zaman penjajahan Belanda pun bahkan pendiri negara juga bicara bahasa campuran, tapi yang dicampur bahasa Belanda dan bahasa daerah," kata dia.

Ivan pun sepakat dengan pernyataan Bernadette bahwa pencampuran bahasa Indonesia dengan bahasa lain belum masuk tahap mengkhawatirkan jika masih dipakai dalam ragam percakapan.

"Jika mereka mulai memakainya dalam ragam formal, baru kita boleh mulai khawatir," kata Ivan yang juga dikenal sebagai "aktivis" bahasa Indonesia di media sosial.

Di media sosial, Ivan selalu menggunakan bahasa baku, sebab dia ingin menjadi contoh bahwa seseorang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tanpa menjadi kaku.

"Tapi sebenarnya di Twitter bahasanya tertulis tapi menirukan model percakapan, jadi cara berbicaranya pun tergantung lawan bicara," kata dia.

Dengan teman akrab atau sebaya, pengguna Twitter bisa saja menggunakan bahasa informal, tapi tetap bisa berbahasa formal dengan orang yang tidak dikenal atau tokoh-tokoh terkemuka.

Orang Indonesia, kata Ivan, rata-rata bisa bicara setidaknya tiga bahasa. "Ini berkah, tapi juga PR untuk menyeimbangkan ketiga bahasa tersebut," kata Ivan.

Jerome Wirawan, warga Jakarta yang lahir dan besar di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, menjelaskan bahwa kebiasaan bicara yang dicampur dengan bahasa Inggris tidak ada saat dia masih sekolah era 1980-an.

"Saya ingat bahwa ketika saya sekolah, tahun 80-an, saya satu-satunya anak di kelas yang tahu apa itu singkatan OPEC dan bisa mengucapkannya dengan jelas," kata Jerome.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com