Oleh David A. Savage dan Benno Torgler
BEBERAPA hari terakhir banyak berita tentang isi rak-rak supermarket di Wuhan, Hong Kong hingga Singapura dan Milan ludes diborong oleh warga setempat sebagai respons menghadapi penyebaran coronavirus. Perilaku ini kerap disebut sebagai ‘belanja akibat kepanikan’.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa fenomena tersebut tidak terkait dengan kepanikan melainkan respons yang sangat rasional untuk menghadapi situasi demikian.
Rasa panik adalah salah satu perilaku manusia yang paling salah dimengerti dan ditafsirkan. Pemahaman umum dan tradisional terhadap perilaku tersebut biasanya berdasarkan mitos dan bukan kenyataan.
Jika kita memahami rasa panik sebagai keadaan rasa takut yang tidak bisa dikawal dan mengakibatkan perilaku tidak masuk akal, maka cara yang biasanya orang-orang lakukan untuk merespons datangnya bencana adalah sesuatu yang berbeda.
Ada kepercayaan bahwa norma-norma sosial tidak lagi berlaku di tengah bencana. Menurut film-film Hollywood, kekacauan timbul dan orang-orang bertindak secara tidak logis atau tidak masuk akal. Kenyataannya justru sangat berbeda.
Kebanyakan penelitian menolak gagasan “sindrom bencana” – suatu keadaan yang mengejutkan atau terjadinya kepanikan massal. Dalam situasi bencana, orang-orang biasanya mempertahankan prinsip-prinsip perilaku yang masih wajar seperti moralitas, loyalitas, dan penghormatan terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku.
Jika itu bukan kepanikan, lalu apa fenomena tersebut? Tidak seperti hewan, manusia dapat merasakan ancaman pada masa depan dan mempersiapkan diri. Dalam situasi seperti wabah coronavirus, faktor penting di sini adalah laju penyebaran informasi ke seluruh dunia.
Kita melihat jalanan yang kosong di Wuhan dan kota-kota lainnya. Di sana orang-orang tidak dapat atau tidak mau keluar rumah karena khawatir akan terkena virus. Adalah hal yang alami jika kita ingin mempersiapkan diri untuk menghadapi dugaan ancaman dengan tingkat gangguan yang serupa terhadap masyarakat kita.
Menyimpan makanan dan barang-barang lainnya membantu orang-orang merasa bahwa mereka dapat mengantisipasi apa yang terjadi. Ini adalah proses pemikiran yang logis: jika virusnya mendekat, Anda ingin agar sebisa mungkin meminimalkan kontak dengan orang lain, selain tentunya juga dapat tetap bertahan di tengah masa-masa genting tersebut.
Semakin besar dugaan ancamannya, semakin kuat reaksinya. Untuk saat ini, dipercayai bahwa virusnya memiliki periode inkubasi hingga 14 hari, sehingga orang-orang ingin mempersiapkan diri untuk isolasi selama setidaknya 14 hari.
Mempersiapkan diri untuk masa isolasi bukanlah akibat ketakutan ekstrem atau irasional, melainkan perwujudan mekanisme untuk bertahan hidup yang tertanam di dalam diri kita. Secara historis, kita harus melindungi diri dari musim dingin yang tak bersahabat, gagal panen atau penyakit menular, tanpa bantuan institusi sosial dan teknologi modern.
Menyimpan barang-barang adalah respons yang dapat diterima. Itu menunjukkan bahwa warga tidak sekadar bereaksi tanpa melakukan apa-apa dalam menghadapi fenomena eksternal, tapi berpikir ke depan dan merencanakan untuk situasi yang mungkin akan terjadi.
Walaupun sebagian dari tindakan ini dilakukan akibat keinginan untuk berdikari, pada aspek-aspek tertentu hal ini juga dapat dipandang sebagai ‘perilaku sekawan’ (herd behaviour). Perilaku ini dilakukan dengan meniru tingkah laku orang lain – dapat juga dipandang sebagai kerja sama kondisional dengan orang lain (misalnya, menguap).
Banyak ketidakpastian dalam bencana, yang berarti keputusan-keputusan yang telah dibuat jauh-jauh hari dibuat berdasarkan dugaan ancamannya, bukan berdasarkan gangguan yang disebabkan oleh bencana itu sendiri. Kita cenderung tidak mau mengambil risiko dan mempersiapkan diri untuk situasi terburuk daripada situasi terbaik.