KOMPAS.com – Orang yang melakukan perubahan jenis kelamin, atau biasa disebut dengan transgender, kerap menerima pandangan miring dari masyarakat.
Banyak orang mempertanyakan apakah terdapat keterkaitan antara gangguan jiwa dengan perubahan jenis kelamin pada seorang transgender.
Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa RS Awal Bros Bekasi Barat, dr Alvina Sp.KJ, mengatakan bahwa masyarakat perlu memahami bahwa transgender bukanlah sebuah penyakit. Sehingga tak ada upaya di bidang medis untuk menyembuhkannya.
“Orang-orang yang memutuskan untuk mengubah jenis kelamin biasanya merasa dirinya tidak nyaman dengan jenis kelaminnya saat lahir,” ujar Alvina seperti dikutip dari keterangan tertulis kepada Kompas.com, Jumat (14/2/2020).
Baca juga: Keberagaman Gender di Indonesia
Seorang transgender, lanjut Alvina, sejak dini merasa dirinya terperangkap dalam tubuh yang salah. Biasanya transgender akan berusaha mengubah dirinya menjadi jenis kelamin yang ia rasakan sebagai jenis kelaminnya.
“Transgender sendiri termasuk dalam identitas gender, sehingga bukan sesuatu gangguan jiwa yang membutuhkan terapi. Terapi psikiatri diperlukan bila seseorang mengalami gangguan jiwa termasuk bila seorang transgender mengalami gangguan jiwa,” ujarnya.
Identitas gender adalah pengalaman internal dan individual yang mendalam mengenai gender. Para transgender umumnya tidak mempengaruhi orang lain untuk ikut mengubah jenis kelaminnya. Biasanya, para transgender akan merasa menjadi dirinya yang seutuhnya dan sebenarnya bila mengubah jenis kelaminnya.
Baca juga: Soal Jenis Kelamin Lucinta Luna, Bagaimana Semestinya Kita Menyikapi?
Sama halnya dengan pergaulan cisgender, pergaulan transgender juga berbeda-beda. Cisgender adalah orang yang memiliki identitas gender yang sama dengan jenis kelaminnya saat lahir.
Para transgender akan menjalani kehidupan seperti cisgender atau manusia pada umumnya setelah melakukan perubahan kelamin.
“Setelah mengubah jenis kelaminnya, para transgender berharap bisa merasa lebih baik, lebih tenang, dan lebih damai karena sudah menjadi dirinya secara utuh,” tutur Alvina.
Dampak menjadi transgender tentu berbeda-beda. Namun, Alvina menekankan bahwa transgender bukan merupakan penyakit yang harus diterapi.
“Sekali lagi, transgender itu bukan merupakan penyakit. Namun mungkin dalam prosesnya, para transgender akan menjadi terbuka tentang transgender-nya dan mengalami penolakan atau ejekan atau hinaan yang bisa berdampak pada mentalnya sendiri,” tutur Alvina.
Ia menekankan bahwa transgender sudah tentu merasa tidak nyaman saat masyarakat menghakimi atau mengejeknya.
Baca juga: Etiskah Memilih Jenis Kelamin Bayi?
Jika terdapat transgender di lingkungan sekitar, Alvina menekankan, masyarakat sebaiknya bersikap baik dan memperlakukan transgender sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang sama seperti orang lainnya.
“Masyarakat juga bisa membantu mengarahkan transgender untuk datang kepada tenaga profesional bila ia mengalami kebingungan tentang kondisi dirinya,” tambah ia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.