KOMPAS.com - Merebaknya penyakit virus corona Wuhan (Covid-19) yang berasal dari virus kelelawar membuat khawatir beberapa pihak. Pasalnya, beberapa komunitas di Indonesia juga mengonsumsi daging kelelawar tersebut.
Peneliti Pusat Studi Satwa Primata IPB, Dr drh Joko Pamungkas MSc, menyampaikan bahwa kekayaan satwa di Indonesia memungkinkan adanya risiko penularan wabah layaknya Covid-19.
"Semakin besar keragaman, maka semakin besar juga risiko potensi wabah," kata Joko dalam acara "Menyikapi Virus Corona 2019-nCoV: Dari Lembaga Eijkman untuk Indonesia", Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Baca juga: Gambar Virus Corona Wuhan Covid-19 Dirilis, Begini Penampakannya
Indonesia merupakan habitat bagi sekitar 12 persen mamalia dunia, 16 persen reptil dan amfibi dunia, 17 persen burung dunia dan 25 persen adalah ikan.
Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terkaya kedua setelah Brasil.
Joko berkata, Indonesia menghadapi peningkatan tingkat gangguan habitat dan perubahan penggunaan lahan, pembukaan hutan untuk tujuan pertanian dan pertambangan, serta meningkatnya perburuan satwa liar untuk makanan yang bisa dikonsumsi.
Baca juga: Update Virus Corona 14 Februari:1.491 Meninggal, 65.247 Terinfeksi
Dari faktor meningkatnya gangguan habitat satwa liar di Indonesia ini, Joko mengungkapkan adanya potensi peningkatan penularan patogen.
Adanya gangguan habitat alam hewan-hewan liar itu sebenarnya juga mengubah pola interaksi manusia dengan hewan. Oleh karena itu potensi penularan patogen dari inang alami ke manusia bisa terjadi.
"Seringnya mengonsumsi daging-daging dari satwa liar, ini adalah potensi adanyan interaksi penularan patogen antara satwa liar dan manusia," ujarnya.
"Inang fatal inilah yang pada hewan atau manusia yang terinfeksi mikroorganisme justru mengalami sakit," jelas dia.
Hal ini sama halnya dengan kejadian wabah MERS, SARS dan Covid-19 ini yang berasal dari virus corona pada kelelawar. Kemudian, virus itu menginfeksi inang fatal yaitu manusia dan hewan lainnya.
Joko bersama tim peneliti lainnya telah melakukan penelitian terkait virus yang mungkin berpotensi menginfeksi manusia dari kelelawar.
Penelitian tersebut dilakukan dengan pengambilan beberapa sampel kelelawar dan rodensia di Pulau Sulawesi, yaitu Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat dan Gorontalo.
Di bawah proyek PREDICT dan USAID dari tahun 2014-2019, pengambilan sampel lapangan dilakukan dalam periode dua minggu selama musim hujan dan musim kemarau setiap tahunnya.
Baca juga: Virus Corona sampai Ebola, Kenapa Virus dari Kelelawar Sangat Mematikan?
Pengambilan sampel tersebut juga termasuk hewan yang dijual di pasar besar daerah setempat, dengan lebih dari 20 pedagang.
Sampel hewan kelelawar yang diambil adalah hewan di dalam atau di dekat tempat tinggal manusia, di tempat penampungan sementara, hewan yang di jual di pasar besar daerah setempat dengan lebih dari 20 pedagang, serta hewan di beberapa lokasi di dekat habitat alami.
Spesimen yang dikumpulkan oleh para peneliti berupa darah, feses atau usap dubur, urine atau usap geno-genital, dan usap tenggorokan.
Protokol laboratorium Predict diterapkan untuk mendeteksi keluarga atau genus virus dengan consensus PCR terhadap spesimen yang ada tersebut.
Baca juga: Tahun Lalu, Ahli China Peringatkan Potensi Virus Corona Baru dari Kelelawar
Sampel diuji terhadap empat keluarga virus dan satu genus, yaitu Paramyxoviridae, Coronaviridae, Filoviridae, Flaviviridae, dan virus Influenza A.
Hasil pemeriksaan masih dalam proses memperoleh persetujuan dari otoritas kesehatan hewan untuk bisa dipublikasikan dalam berbagai bentuk.
Setelah memperoleh persetujuan tersebut, temuan akan didistribusikan kepada pemerintah di seluruh sektor yang meliputi satwa liar, pertanian, dan sektor kesehatan menggunakan pendekatan One Health sebagai pemetaan keberadaan virus di satwa liar.
"Jadi (penelitian surveilans) ini bentuk upaya pencegahan yang bisa kita lakukan agar wabah virus baru dari hewan liar tidak menginfeksi manusia," tuturnya.
Kendati demikian, Joko juga menegaskan bahwa penelitian lebih lanjut dan lebih merata di daerah lainnya juga harus dilakukan untuk melihat indikasi dan kemungkinan lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.