Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Betrand Peto Minum ASI Sarwendah, Kenapa Ada Orang yang Jijik?

Kompas.com - 22/11/2019, 12:32 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebagian masyarakat merasa jijik ketika mengetahui Sarwendah memberikan ASI-nya untuk Betrand Peto. Padahal, Betrand meminum ASI ibu angkatnya itu dengan menggunakan gelas.

Fenomena ibu susu atau wanita memberikan ASI untuk anak orang lain bukanlah hal baru.

Namun, kenapa banyak orang merasa jijik dengan hal ini?

Mencari jawaban itu, Kompas.com menghubungi seorang pengamat sosial budaya, Dr Endang Mariani M.PSi, Selasa (22/11/2019).

Endang berkata, pemberian ASI kepada anak bukan kandung sudah ada sejak zaman dahulu. Namun, belakangan ini, pilihan untuk memberikan ASI dari ibu susu atau donor ASI yang dilakukan oleh ibu-ibu muda mulai terdengar kembali dan menjadi viral.

Baca juga: Soal Betrand Peto Minum ASI Sarwendah, Ini Kata Ahli Gizi

"Bahkan karena dilakukan oleh public figure yang diunggah di media sosial, banyak tanggapan mengenai hal tersebut. Ya salah satunya adalah reaksi jijik dengan hal itu," kata dia.

Jijik terhadap donor ASI (ibu susu)

Endang menjelaskan, rasa jijik dengan pemberian ASI dari sudut pandang psikologi.

Dia berkata, perasaan "jijik” (disgust) merupakan salah satu dari enam emosi dasar yang dimiliki manusia, lebih dari sekadar perasaan.

Hal ini biasanya terkait dengan persepsi terhadap sesuatu yang dipengaruhi oleh budaya, sikap, nilai, dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.

"Jadi munculnya ekspresi 'jijik' itu sendiri bisa berbeda-beda. Dengan kata lain, apakah sesuatu kemudian dianggap menjijikkan atau tidak tergantung pada persepsi individu yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya," ujarnya.

Selain itu, beberapa faktor, seperti emotional judgment, sikap, nilai, dan keyakinan terhadap sebuah peristiwa, fenomena atau perilaku yang bisa berubah dan berbeda dari satu budaya dengan budaya lain, juga sangat memengaruhi munculnya perasaan jijik.

"Terhadap fenomena ibu susu, saya sendiri berpendapat, tidak ada yang salah. Selama itu dilakukan dengan tetap berpegang pada aturan dan nilai yang ada, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini adalah adanya indikasi medis, psikologis, dan tidak keluar dari norma agama. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Ada aturan yang harus diikuti," jelasnya.

Aturan jadi ibu susu

Endang juga menyebutkan, beberapa aturan yang seharusnya diikuti, seperti hanya dilakukan oleh ibu yang juga memiliki anak di bawah dua tahun.

Jika itu dilakukan terhadap anak yang telah berusia dua tahun atau lebih, menurut Endang, ini sudah di luar kewajaran. Apalagi jika dilakukan secara langsung, tanpa melalui alat bantu (seperti botol susu atau gelas) dan proses tertentu.

Ibu susu dan bukan anak kandung yang disusui harus jelas identitas dan kondisi kesehatannya.

Selain untuk tujuan menjaga “keamanan” kesehatan secara medis, seperti menularnya penyakit-penyakit tertentu, juga untuk menjaga kejelasan identitas yang dapat berpengaruh terhadap berbagai kemungkinan pada masa datang.

"Dalam agama Islam, misalnya, anak sepersusuan, apabila berbeda jenis kelamin, dilarang untuk menikah satu sama lain. Demikian juga ibu susu dengan anak susuannya. Oleh karena itu, kejelasan identitas menjadi penting," ujarnya.

ASI vs susu formula

Berdasarkan banyak penelitian ilmiah di bidang medis maupun psikologi, tidak terbantahkan manfaat dan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) oleh ibu yang sehat kepada anak-anaknya, segera setelah bayi dilahirkan hingga berusia dua tahun. Terkecuali untuk kasus-kasus langka, di mana bayi alergi terhadap ASI.

Pemberian ASI eksklusif sampai dengan bayi berusia enam bulan sangat disarankan.

Kemudian, pemberian ASI lanjutan bersama dengan makanan tambahan sampai bayi berusia dua tahun juga merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk perkembangan kesehatan fisik dan psikis pada masa kanak-kanak.

Namun, persoalan yang sering terjadi yaitu kondisi-kondisi tertentu yang dialami ibu sehingga tidak dapat memberikan ASI kepada anak-anaknya, misalnya karena sakit, ASI tidak keluar atau tidak mencukupi kebutuhan.

"Solusi instan yang umumnya diambil adalah dengan memberikan susu formula sebagai pengganti. Tentu saja susu yang berasal dari sapi dan telah mengalami serangkaian proses tidak bisa menyamai kualitas ASI," kata dia.

Namun, karena secara dan psikologis, kata Endang, keutamaan ASI itu lebih baik dibanding air susu sapi yang telah melalui serangkaian proses menjadi susu formula.

Maka, secara kognitif, seharusnya pandangan masyarakat terhadap fenomena ibu susu (donor ASI) dapat diubah melalui pemahaman budaya dan norma agama.

"Ibu susu versus sapi susu, mana lebih menjijikkan?" tanyanya.

Pengalaman pribadi menjadi ibu susu

Endang pun mengaku pernah menjadi ibu susu bagi keponakannya.

"Kebetulan saat itu, ibu dari keponakan saya sakit. Air susunya tidak keluar sama sekali, dan keponakan saya tersebut mengalami alergi terhadap susu formula. Sementara, ASI saya melimpah," cerita dia.

Bayi yang Endang susui saat itu masih berusia sekitar dua bulan, masih rewel luar biasa dan menangis terus. Akhirnya dengan seizin suami dan keluarga, dia menyusui keponakannya itu selama lebih kurang 2-3 minggu.

"Kesediaan saya menjadi ibu susu juga harus melalui pertimbangan medis dan psikologis, dengan berpegang pada nilai agama," ujarnya.

Baca juga: Soal Betrand Peto Minum ASI Sarwendah, Ini Tanggapan Psikolog Keluarga

Endang mengingatkan, ketika seseornag memutuskan menjadi ibu susu atau menjadi donor ASI, sebaiknya hal ini bukan untuk dipublikasikan atau sekadar untuk popularitas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau