Diskusi apakah manusia sebagai makhluk generalis atau spesialis tidak hanya relevan di bidang arkeologi dan sejarah, tapi juga dapat diadaptasi ke bidang pengembangan diri dan pendidikan kontemporer dengan konteks yang sedikit berbeda.
Pertanyaan yang jamak kita temukan adalah mana yang lebih baik bagi karir seseorang pada masa depan, menjadi seorang generalis yang memahami banyak bidang ilmu di permukaan (disebut juga “jack of all trades master of none”) atau menjadi seorang spesialis yang fokus menguasai satu pengetahuan tertentu secara mendalam?
Merujuk pada studi Robert dan Stewart tersebut, sudah saatnya kita tidak lagi mendikotomikan kedua peran tersebut. Dalam era perubahan teknologi yang begitu cepat hari ini, dalam situasi yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, peran manusia yang adaptif dalam berbagai kondisi yang ekstrem menemukan kembali relevansinya.
Menjadi seorang generalis dan spesialis di saat bersamaan bukan hal yang mustahil, bahkan boleh jadi harus kita lakukan untuk dapat bertahan pada zaman disrupsi inovasi dan digitalisasi ini.
Memang, menurut doktrin klasik Adam Smith spesialisasi pekerjaan akan membuat organisasi lebih efisien. Dengan adanya pembagian pekerjaan, seseorang akan memiliki kepakaran spesifik di suatu bidang sehingga produktivitasnya akan meningkat.
Namun, saat ini, spesialisasi ilmu dan kepakaran justru membatasi kapasitas adaptif manusia yang tidak terbatas. Para spesialis justru sangat rentan dengan perubahan.
Menjadi generalis spesialis artinya menjadi seseorang yang tidak berhenti belajar. Ia tidak hanya memiliki spesialisasi kepakaran di satu bidang ilmu, tapi juga berusaha memperdalam bidang-bidang ilmu lain yang sesuai dengan tantangan zaman.
Berbeda dengan generalis yang hanya memahami kulit-kulitnya saja, seorang generalis spesialis dituntut untuk menjadi pakar di banyak bidang.
Seorang sarjana teknik misalnya, ketika masuk ke dunia kerja di bidang perbankan akan dituntut memahami ilmu keuangan dan investasi. Kemudian, saat suatu hari ia dirotasi ke bidang sumber daya manusia (SDM) ia harus paham ilmu manajemen. Untuk beradaptasi dengan teknologi digital, ia pun harus mempelajari dasar-dasar analisis dan intrepretasi data berbasis pemrograman.
Ada satu studi yang menarik untuk disimak terkait peran generalis spesialis di dunia hari ini. Cesar Hidalgo dan koleganya di MIT Media Lab memetakan migrasi pekerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain di Brazil antara tahun 2008-2012 untuk melihat bagaimana penyebaran pengetahuan bekerja.
Hasilnya ditemukan bahwa suatu perusahaan yang merekrut karyawan baru dari sektor industri yang berhubungan dengan jenis bisnisnya memiliki peluang keberhasilan lebih tinggi daripada perusahaan yang merekrut karyawan dengan pengalaman di bidang pekerjaan yang sama dari jenis industri yang berbeda.
Sebagai ilustrasi, misalkan sebuah perusahaan di industri farmasi membutuhkan manajer baru di bidang sumber daya manusia. Maka, menurut studi tersebut, lebih baik merekrut manajer marketing dari perusahaan kompetitor di industri farmasi daripada merekrut manajer SDM yang sebelumnya bekerja di industri perbankan.
Studi tersebut cukup menggambarkan pentingnya menjadi spesialis di suatu industri tertentu di satu sisi, tapi juga menjadi generalis yang menguasai berbagai bidang ilmu pada saat yang bersamaan.
Kemudian, pada saat dibutuhkan, seorang pakar marketing dituntut untuk mampu mempelajari ilmu sumber daya manusia yang ia perlukan saat jabatannya dirotasi.
Bukti sejarah
Orang-orang hebat pada masa lalu ternyata merupakan generalis dan spesialis pada saat yang sama. Meskipun Leonardo Da Vinci lebih dikenal sebagai seniman, ia memiliki ketertarikan terhadap matematika, anatomi, hingga teknik penerbangan.