Jauh sebelum itu, Georg Eberhard Rumphius pada abad ke-17 merintis lahirnya taksonomi dan botani di Ambon.
"Eco-heritage ini aset wisata bernilai tinggi. Tidak kalah dengan Galapagos yang hanya mengandalkan jejak Charles Darwin. Kita memiliki banyak jejak peninggalan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang berpengaruh di dunia, seperti di Ambon, Ternate, Bantimurung, dan Sangiran," jelasnya.
Bioprospeksi untuk obat dan energi memiliki potensi dengan dampak ekonomi lebih besar daripada ekowisata.
Indonesia memiliki 30.000 tanaman obat, 4.000 di antaranya memiliki rekam jejak turun-temurun sebagai bahan pembuatan jamu.
Kekayaan alam Indonesia mencakup lebih dari 10 persen tanaman dunia yang dapat menjadi sumber utama obat-obatan.
“Negeri ini pun dikaruniai keragaman mikroorganisme yang dapat mengonversi energi matahari menjadi sumber energi alternatif,” kata dia.
Di Amerika Serikat, Klinik Mayo berhasil memanfaatkan karya akbar Rumphius yang diterjemahkan dari bahasa Belanda kuno tiga tahun yang lalu.
Dari buku Herbarium Amboniense itu, Mayo mengembangkan antibakteri dari ekstrak pohon atun (Atuna racemosa), yang sesungguhnya banyak tumbuh di nusantara.
Baca juga: LIPI Kenalkan ddPCR untuk Bantu Kebutuhan Riset Bioteknologi
Di AS, seperti dicatat oleh National Institutes of Health 2016, angka penjualan obat-obatan berbasis biodiversitas telah mencapai 37 miliar dolar setahun.
Ironisnya di Indonesia, berdasarkan Data Bagian Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), pada tahun 2018, 95 persen bahan baku obat-obatan dan suplemen dalam negeri masih berasal dari impor.
Ekspor baru berkontribusi sekitar 20 persen terhadap total omzet industri farmasi yang diperkirakan saat ini sekitar Rp 60 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua ALMI, yang sekaligus salah satu anggota tim penulis buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia, Alan F Koropitan, mengatakan, sebagai negara dengan jumlah kekayaan biodiversitas darat dan laut terkaya di dunia, Indonesia sesungguhnya memiliki banyak bahan baku farmasi.
"Indonesia juga berpotensi mengembangkan bioenergi dan fotosintesis mikroalga guna menyerap energi matahari menjadi biomassa, bioetanol, atau bahkan carbon-negative hydrogen. Ini yang kita sebut sebagai bioprospeksi untuk bioenergi," jelas Alan.
Potensi ketiga adalah eksplorasi laut dalam. Menurut Alan, kegiatan eksplorasi laut dalam menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar, mengingat 90 persen laut Indonesia berupa laut dalam.
“Eksplorasi laut dalam adalah sebuah momentum yang memerlukan ikhtiar raksasa. Tantangan untuk mengeksplorasi dan memanfaatkannya memang besar, namun menjanjikan imbalan yang luar biasa,” kata Alan.
Di laut dalam, tersimpan dan hidup beragam jasad renik yang hidup dan berinteraksi dalam jumlah sangat besar, serta mineral-mineral berharga.
"Eksplorasi laut dalam berpotensi menghasilkan pengetahuan, inovasi, dan teknologi baru yang akan mendorong industri kimia, obat-obatan, dan energi baru. Dan, di planet ini tak ada negara lain yang dianugerahi laut sekaya Indonesia," jelas Alan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.