Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Rekomendasi Ahli untuk Keluar dari Jebakan Pendapatan Kelas Menengah

Kompas.com - 12/11/2019, 12:29 WIB
Ellyvon Pranita,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Salah satu harapan Presiden Joko Widodo bagi Indonesia adalah bisa keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah dan masuk dalam lima ekonomi besar dunia pada 2045. Hal ini diungkapkannya dalam pidato perdana di Sidang Paripurna pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024.

Terkait hal tersebut, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) merekomendasikan tiga kegiatan atau fokus utama dalam memanfaatkan  kekayaan alam atau biodiversitas yang sebaiknya dijalankan oleh negara lewat buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia.

Tiga rekomendasi tersebut adalah ekowisata, bioprospeksi untuk penemuan obat dan bioenergi, serta eksplorasi laut dalam yang dianggap dapat mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Baca juga: AIPI dan ALMI Luncurkan Buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia

“Kekayaan biodiversitas Indonesia dianggap berpotensi besar sebagai penopang pertumbuhan ekonomi nasional dan akan membawa Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” kata ketua tim penulis buku, Profesor Jamaluddin Jompa, di acara bertajuk Sains di Medan Merdeka, Perpustakaan Nasional RI, Senin (11/11/2019).

Meskipun ketiga prioritas ini merupakan hasil kajian Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), namun diakui Jamaluddin bahwa ketiga prioritas investasi ini masih tetap memiliki tantangan dan potensi dampak ekonomi berbeda.

“Tiga prioritas investasi nasional yang kami rekomendasikan ini memiliki level tantangan dan kebutuhan investasi yang berbeda. Dan, itu mencerminkan sekaligus tergantung pada sejauh ambisi serta komitmen politik pengambil kebijakan," ujar Jamaluddin.

Ekowisata

Indonesia, terutama di beberapa pulau yang ada, dikatakan Jamaluddin telah diakui dunia memiliki ragam spesies yang kharismatik dan eco-heritage.

Di negara lain, paket ekowisata telah menjadi sektor perekonomian dari kekayaan alam yang menjanjikan. Sementara di Indonesia sendiri, kegiatan ekowisata seperti ini sudah dirintis oleh pemerintah, namun belum benar-benar optimal, terutama karena masih minimnya dukungan sains dan teknologi.

“Spesies endemik dan kharismatik misalnya, hingga saat ini belum dikelola sebagai paket ekowisata dunia,” tuturnya.

Di samping komodo dan orangutan, kedua spesies yang telah menjadi ikon fauna nusantara; Indonesia masih memiliki babi rusa dan berbagai macam burung khas, seperti maleo.

Keunikan maleo dapat dikemas menarik, telur burung ini berukuran hingga lima kali lipat telur ayam dan sama besarnya dengan tubuh induknya.

Baca juga: AIPI Berikan Rekomendasi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Indonesia

Seluk-beluk maleo ini dan upaya konservasi spesies kharismatik dengan pendekatan sains dan teknologi, dapat menarik segmen khusus wisatawan pecinta sains serta lingkungan.

"China adalah contoh negara yang sukses mengembangkan dan memperkenalkan spesies kharismatiknya untuk mengangkat ekowisata mereka, yaitu panda, melalui pendekatan sains dan konservasi. Kita seharusnya dapat melakukan hal serupa mengingat spesies kharismatik kita jauh lebih banyak dan unik," ucap Jamaluddin.

Kegiatan ekowisata juga dapat mengangkat potensi eco-heritage kita yang sangat besar.

Kekayaan biodiversitas kita menginspirasi terobosan besar ilmu pengetahuan dunia melalui magnum opus dan temuan ilmuwan-ilmuwan besar, seperti Alfred Russel Wallace dengan teori evolusi, Franz Junghuhn merintis aklimatisasi tanaman, dan Eugene Dubois menemukan fosil Homo erectus di Sangiran.

Jauh sebelum itu, Georg Eberhard Rumphius pada abad ke-17 merintis lahirnya taksonomi dan botani di Ambon.

"Eco-heritage ini aset wisata bernilai tinggi. Tidak kalah dengan Galapagos yang hanya mengandalkan jejak Charles Darwin. Kita memiliki banyak jejak peninggalan temuan-temuan ilmu pengetahuan yang berpengaruh di dunia, seperti di Ambon, Ternate, Bantimurung, dan Sangiran," jelasnya.

Obat dan energi

Bioprospeksi untuk obat dan energi memiliki potensi dengan dampak ekonomi lebih besar daripada ekowisata.

Indonesia memiliki 30.000 tanaman obat, 4.000 di antaranya memiliki rekam jejak turun-temurun sebagai bahan pembuatan jamu.

Kekayaan alam Indonesia mencakup lebih dari 10 persen tanaman dunia yang dapat menjadi sumber utama obat-obatan.

“Negeri ini pun dikaruniai keragaman mikroorganisme yang dapat mengonversi energi matahari menjadi sumber energi alternatif,” kata dia.

Di Amerika Serikat, Klinik Mayo berhasil memanfaatkan karya akbar Rumphius yang diterjemahkan dari bahasa Belanda kuno tiga tahun yang lalu.

Dari buku Herbarium Amboniense itu, Mayo mengembangkan antibakteri dari ekstrak pohon atun (Atuna racemosa), yang sesungguhnya banyak tumbuh di nusantara.

Baca juga: LIPI Kenalkan ddPCR untuk Bantu Kebutuhan Riset Bioteknologi

 

Di AS, seperti dicatat oleh National Institutes of Health 2016, angka penjualan obat-obatan berbasis biodiversitas telah mencapai 37 miliar dolar setahun.

Ironisnya di Indonesia, berdasarkan Data Bagian Penelitian dan Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku, Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), pada tahun 2018, 95 persen bahan baku obat-obatan dan suplemen dalam negeri masih berasal dari impor.

Ekspor baru berkontribusi sekitar 20 persen terhadap total omzet industri farmasi yang diperkirakan saat ini sekitar Rp 60 triliun.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua ALMI, yang sekaligus salah satu anggota tim penulis buku Sains untuk Biodiversitas Indonesia, Alan F Koropitan, mengatakan, sebagai negara dengan jumlah kekayaan biodiversitas darat dan laut terkaya di dunia, Indonesia sesungguhnya memiliki banyak bahan baku farmasi.

"Indonesia juga berpotensi mengembangkan bioenergi dan fotosintesis mikroalga guna menyerap energi matahari menjadi biomassa, bioetanol, atau bahkan carbon-negative hydrogen. Ini yang kita sebut sebagai bioprospeksi untuk bioenergi," jelas Alan.

Eksplorasi laut dalam

Potensi ketiga adalah eksplorasi laut dalam. Menurut Alan, kegiatan eksplorasi laut dalam menyimpan potensi ekonomi yang sangat besar, mengingat 90 persen laut Indonesia berupa laut dalam.

“Eksplorasi laut dalam adalah sebuah momentum yang memerlukan ikhtiar raksasa. Tantangan untuk mengeksplorasi dan memanfaatkannya memang besar, namun menjanjikan imbalan yang luar biasa,” kata Alan.

Di laut dalam, tersimpan dan hidup beragam jasad renik yang hidup dan berinteraksi dalam jumlah sangat besar, serta mineral-mineral berharga.

"Eksplorasi laut dalam berpotensi menghasilkan pengetahuan, inovasi, dan teknologi baru yang akan mendorong industri kimia, obat-obatan, dan energi baru. Dan, di planet ini tak ada negara lain yang dianugerahi laut sekaya Indonesia," jelas Alan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com