KOMPAS.com - Banyak orang punya kebiasaan melakukan self diagnosis alias mendiagnosa diri sendiri.
Sebagai contoh, ketika kaki terkilir, orang lain akan menyarankan untuk ke tukang urut. Ada juga yang merasakan sakit kepala terus menerus, kemudian mengklaim bahwa dirinya terkena kanker otak. Atau saat stres dan depresi, bukannya datang ke tenaga ahli untuk berkonsultasi, justru ingin bunuh diri.
Ketika Anda mencari informasi tentang sakit yang Anda rasakan lewat internet, itu juga namanya self diagnosis.
Padahal kita pun tahu, orang yang berhak memberi diagnosis baik secara fisik atau psikis adalah tenaga medis profesional.
Namun, apakah self diagnosis memiliki dampak positif?
Baca juga: Bahaya Self Diagnosis di Balik Popularitas Film Joker
Ahli psikiatri Universitas Indonesia dr. Sylvia Detri Elvira, SpKJ(K) mengatakan, dampak positif self diagnosis adalah membuat seseorang lebih sadar.
"Dengan adanya awareness atau kesadaran seseorang, dia biasanya akan mengetahui apa yang harus ia lakukan," ujar Sylvia.
Lantas, yang memiliki self diagnosis cenderung akan menghindari hal-hal yang membuatnya merasa "sakit". Selain itu karena ia memiliki kesadaran, ia akan pergi ke dokter atau psikolog untuk penanganan lebih lanjut.
Saat ini, cukup marak aplikasi-aplikasi berbasis psikologi yang dapat diakses dengan mudah.
Namun, aplikasi-aplikasi tersebut ditujukan untuk orang yang hanya ingin mencari hiburan bukan untuk diagnosa diri.
"Aplikasi yang seperti itu harusnya hanya orang yang kuat secara mental, jika lemah biasanya ia bisa kepikiran dan dapat menurunkan rasa percaya diri," terang Sylvia.
Baca juga: Awas, Kebiasaan Self Diagnosis dari Internet Bisa Berbahaya
Sebenarnya, self diagnosis memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding positif.
Dilansir dari Hello Sehat, berikut dampak negatif dari self diagnosis: