Pendaki butuh waktu untuk bisa aklimitisasi atau adaptasi dengan kondisi di Everest sebelum mencapai puncaknya. Setidaknya lakukan tiga kali pendakian gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 5.000 mdpl dalam setahun.
Ketika hal ini dilakukan dan tubuh mulai beradaptasi, secara alami tubuh mulai membuat lebih banyak hemoglobin atau protein dalam sel darah merah yang membantu membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Hal ini berguna untuk mengkompensasi perubahan ketinggian.
Namun perlu diingat, jika tubuh terlalu banyak memproduksi hemoglobin maka akan berisiko mengubah darah jadi kental.
Darah yang kental akan sulit dipompa dari jantung ke seluruh tubuh. Hal ini memicu munculnya stroke dan paru-paru basah, atau dinamakan High Altitude Pulmonary Edema (HAPE).
Gejala HAPE antara lain kelelahan, sesak napas pada malam hari, dan kerap merasa lemah.
Penderita HAPE juga bisa batuk mengeluarkan cairan putih, berair, atau berbusa. Jika batuk seperti ini cukup parah, bisa membuat tulang rusuk patah.
Seseorang yang menderita HAPE biasanya memiliki napas pendek.
Baca juga: Pendaki Dengar Suara Misterius di Gunung Everest, dari Mana Asalnya?
Windsor mengungkap, pendaki yang mengantre di zona kematian, napasnya mirip orang yang sedang sekarat.
Saat seseorang sulit bernapas, artinya sedikit oksigen yang masuk ke dalam aliran darah dan diterima organ seperti otak. Otak yang tidak cukup mendapat oksigen akan mengalami pembengkakan sehingga membuat mual dan mulai halusinasi.
"Hipoksia (kurangnya sirkulasi oksigen ke organ tubuh, seperti otak) terjadi karena pendaki gagal beradaptasi di zona kematian," ungkap pakar ketinggian Peter Hackett.
Hackett menerangkan, ketika otak tidak mendapat cukup oksigen akan memicu High Altitude Cerebral Edema (HACE).
HACE inilah yang memicu munculnya rasa mual, lelah, sulit berpikir, hingga mengalami halusinasi.
Artikel ini telah mengalami penyuntingan pada Minggu (6/10/2019) pukul 2.32 WIB.