KOMPAS.com - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggalakkan pembuatan hujan buatan untuk mengurangi titik panas akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau dan Kalimantan.
Kepala BPPT Hammam Riza berkata kepada Kompas.com, pihaknya sudah membuat hujan buatan sejak Februari lalu.
Dia menjelaskan, syarat utama dibuat hujan buatan adalah ditemukan awan yang memiliki kadar potensi hujan minimal 70 persen.
Awan yang memiliki kadar berpotensi hujan sampai 70 persen inilah yang mampu disemai. Setelah BMKG menemukan awan tersebut, dikatakan Hammam, BPPT kemudian menerbangkan pesawat khusus yang membawa garam atau NaCl (Natrium klorida).
Baca juga: Hujan Buatan jadi Solusi Kabut Asap Riau, Begini Cara Membuatnya
"Pesawat akan masuk ke awan yang sudah diidentifikasi bisa hujan untuk menyebar garam," ungkap dia.
Proses "menaburi" awan dengan garam inilah yang disebut penyemaian awan, tujuannya untuk membuat awan "matang" sehingga bisa menurunkan hujan.
Penyemaian awan atau istilahnya cloud seeding, merupakan jenis modifikasi cuaca yang paling umum digunakan secara global.
Penyemaian awan bertujuan untuk meningkatkan curah hujan di mana kondisi cuaca buruk sedang dialami di suatu wilayah.
Namun tahukah Anda, siapa orang yang membuat teknologi ini?
Metode hujan buatan melalui penyemaian awan pertama kali ditemukan oleh ilmuwan AS bernama Vincent Joseph Schaefer pada 16 November 1946.
Diberitakan Kompas.com (16/11/2018), penyemaian merupakan bentuk modifikasi cuaca dengan cara mengubah jumlah curah hujan yang turun dari awan.
Modifikasi cuaca ini dilakukan dengan menyebar zat-zat kimia ke udara yang berfungsi sebagai kondensasi awan atau inti es, yang mengubah proses mikrofisika dalam awan.
Usai menamatkan bangku sekolah menengah, Schaefer muda yang masih berusia 15 tahun diterima bekerja di perusahaan General Electric.
Umur muda tak menghalangi tekadnya untuk unggul dalam bidang yang digelutinya. Hingga akhirnya, dia mendapat kesempatan belajar di laboratorium penelitian.
Dia mendapatkan arahan dari ahli kimia di sana. Kemudian, dia membantu merancang penemuan Perang Dunia II seperti penyaring pada topeng, detektor kapal selam dan mesin asap untuk menyembunyikan manuver militer.
Selama perang, mereka menemukan beberapa perangkat penting, termasuk filter masker gas, detektor kapal selam dan mesin untuk menghasilkan awan asap untuk menyembunyikan manuver militer.
Pada 1946, ia berhasil menarik perhatian dunia berkat penelitiannya. Schaefer berhasil menjawab pertanyaan, mengapa es dapat menggangu jalannya penerbangan pesawat melalui sebuah penelitian kecil.
Bersama dengan anggota laboratorium, ia berhasil membuat badai salju pertama di laboratorium. Schaefer mendorong curah hujan di luar ruangan, memecahkan banyak misteri hujan dan salju yang telah membingungkan para ilmuwan.
Setelah itu, dirinya mencoba eksporasi lain mengenai teknik pembuatan awan secara otodidak.
Dengan menggandakan efek dari pesawat terbang di atas sebuah gunung Massachusetts, Schaefer menggunakan 2,7 kilogram bahan kimia kering yang dibuang ke awan.
Hasilnya menunjukkan bahwa penelitiannya bisa menghasilkan salju buatan dan hujan yang berguna.
Bersama temannya, Bernard Vonnegut, Schaefer kemudian mengembangkan perak iodida untuk digunakan sebagai benih awan.
Dilansir dari New York Times, dia mendapat pujian dari berbagai pihak karena bisa mengembangkan sesuatu mengenai cuaca. Salah satunya adalah teknik tentang mengembangkan hujan buatan.
Situasi ini terus berkembang dan menjadikan harapan mampu untuk melawan kekeringan, mendendalikan badai, dan bisa memadamkan kebakaran hutan.
Namun muncul kekhawatiran bahwa teknik ini akan menggangu sistem pola cuaca yang telah berkembang dan juga berakibat mendatangkan cuaca yang buruk.
The Saturday Evening Post mencatat bahwa setelah penyemaian, hal itu masih sulit mendatangkan awan. Meskipun demikian, teknik ini dilakukan di beberapa negara untuk membersihkan awan pada bandara.
Schaefer kemudian menemukan dan mengarahkan Pusat Penelitian Ilmu Atmosfer di Universitas Negeri New York di Albany.
Baca juga: Penemuan yang Mengubah Dunia: Bulu Tangkis, Bermula dari Mesir Kuno
Dirinya juga membantu mendirikan Pusat Penelitian Ilmu Atmosfer (ASRC) pada 1960 dan menjabat sebagai Direktur Penelitiannya sampai 1966 ketika ia menjadi Direktur.
Pada 1970-an, kepentingan penelitian Schaefer sendiri berfokus pada energi matahari, aerosol, gas, kualitas udara, dan partikel polusi di atmosfer. Karyanya di beberapa tempat mulai dikenal tentang "Kualitas Udara dalam Skala Global" pada 1978.
Vincent Schaefer meninggal pada 25 Juli 1993 di Schenectady, New York, pada usia 87 tahun. Karya masih banyak digunakan sampai sekarang dan membantu banyak bidang, terutama tentang perkembangan cuaca.
Sumber: Kompas.com (Aswab Nanda Pratama)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.