KOMPAS.com - Hukuman kebiri kimia tengah menjadi perbincangan sejak pemuda asal Mojokerto, Jawa Timur, bernama Muh Aris (20) dijatuhi hukuman 12 tahun kurungan dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan perkosaan terhadap 9 anak.
Putusan tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya dengan nomor 695/PID.SUS/2019/PT SBY dan tertanggal 18 Juli 2019.
Selain hukuman bui 12 tahun dan kebiri kimia, Aris juga mendapat denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hukuman kebiri kimia dijatuhkan setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Sebagai informasi, Aris merupakan pelaku kejahatan seksual pertama yang divonis hukuman kebiri kimia untuk wilayah Mojokerto.
Baca juga: Mengenal Kebiri Kimia, Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan
Seperti dijelaskan dalam berita sebelumnya, kebiri kimia merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengurangi produksi hormon testosteron dalam tubuh pria.
Dalam prosedur kebiri kimia, pelaku pemerkosa akan mendapat pil atau suntikan berisi zat kimia anti-androgen.
Bila produksi hormon androgen dan testosteron berkurang, maka gairah seksual pria akan menurun.
Kebiri kimia tidak bersifat permanen alias hanya sementara.
Artinya, jika pemberian zat anti-androgen dihentikan, efeknya juga akan berhenti dan pemerkosa akan mendapatkan lagi fungsi seksualnya, baik berupa hasrat seksual maupun kemampuan ereksi.
"Orang mungkin beranggapan kebiri kimia sekali suntik selesai, seperti orang yang dikebiri secara fisik. Mereka harus mendapatkan terus-menerus," kata dokter Nugroho Setiawan, dokter spesialis andrologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan, dilansir BBC Indonesia.
Dokter Nugroho mengingatkan bahwa timbulnya gairah seksual tidak semata-mata disebabkan hormon testosteron.
"Ada pengalaman seksual yang pria alami, itu akan membangkitkan gairah. Lalu faktor kesehatan tubuh pria juga berpengaruh," kata dokter Nugroho.
Hal ini diamini Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Wimpie Pangkahila. Menurut Wimpie, meskipun gairah seksual bisa ditekan, memori pengalaman seksual tidak bisa dihapus.
"Tidak pernah ada laporan yang menunjukkan bahwa kebiri kimia memang lebih memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual dibandingkan hukuman lain yang cukup berat. Karena pengalaman seksual sebelumnya kan sudah terekam di otak. Keinginan dia kan masih ada, terlepas dari apakah dia mampu atau tidak," kata Wimpie.