KOMPAS.com - Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan kelakuan sepasang bule yang diduga melecehkan tempat suci di Bali.
Dalam video berdurasi 10 detik ini, sepasang bule yang belakangan diketahui berasal dari Republik Ceko sedang berada di kawasan Monkey Forest, Ubud, Bali.
Di kawasan Monkey Forest tersebut ada area Pelinggih yang disucikan warga setempat.
Sembari tertawa, pria dalam video mengambil air dari pancuran pelinggih kemudian digunakan untuk membasuh pantat teman perempuannya.
Terang saja hal ini membuat masyarakat Bali geram. Salah satunya desainer kondang Bali, Ni Luh Djelantik.
Baca juga: Viral WNA Cuci Alat Vital Pakai Air Suci Bali, Bagaimana Agar Tak Terulang?
Melalui akun instagram dan facebooknya, Djelantik mengecam tindakan kedua warga Ceko tersebut.
"Bali tak lagi harus diam. Jemput kedua manusia ini dan juga yang merekam videonya untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya," tulis Djelantik dalam instagram.
Perilaku melecehkan budaya dan kepercayaan orang lain tak hanya terjadi kali ini.
Pada April 2018, dua bule juga dikecam karena naik ke atas Padmasana (tempat suci), Pula Gelap, kawasan Pura Agung Besakih, Bali, dan berfoto di atasnya.
Namun, mengapa hal seperti ini terus terjadi?
Hening Widyastuti, psikolog sosial asal Solo menilai, kondisi seperti ini selalu terulang kembali karena kita juga terlalu lunak.
"Yang jelas dari pihak kita terlalu lunak," ujar Hening dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Senin (12/8/2019).
"Dari tuan rumah sendiri, dalam artian pemerintah Bali, (pemerintah) pusat, dan pariwisata, dengan alasan agar banyak wisatawan asing dan domestik, akhirnya (tuan rumah) memiliki program sedemikian rupa dengan berbagai fasilitas pariwisata terjangkau dan dampaknya menjadi lunak," jelas Hening.
Hening menuturkan, progam-program pemerintah agar turis berkunjung inilah yang membuat kebijakan menjadi lunak, dan serta merta memanjakan para wisatawan.
Menurut Hening, program pariwisata asal wisatawan banyak berkunjung pada akhirnya berlawanan dengan adat budaya dan tradisi yang dipegang masyarakat setempat.
"Padahal setahu saya, adat istiadat Bali itu termasuk sakral sekali dan betul-betul dipegang," ujar Hening.
"Nah, ini (adat istiadat Bali) berbenturan dengan kebijakan pariwisata yang kaitannya dengan finansial," imbuh dia.
Hening mengatakan, dampak dari kebijakan "asal wisatawan datang" ini membuat semua orang dengan berbagai latar belakang bisa datang ke suatu daerah.
Sebagai contoh Bali, Hening melihat bahwa bule yang datang ke Bali tidak melulu orang kaya dan elegan. Banyak dari wisatawan asing ini adalah turis backpacker dengan uang minim dan memiliki perilaku tidak santun.
Ada berbagai macam orang dengan berbagai karakter dari berbagai negara yang berkumpul menjadi satu.
"Karena situasinya, secara psikologis dalam tanda kutip banyak wisatawan bengal, iseng, tidak punya tata krama dan etika, kemudian dia (wisatawan) dimanjakan dengan fasilitas, dia jadi makin tidak menghargai Bali," jelas Hening.
Hal inilah yang membuat seseorang atau wisatawan tidak menghargai dan menghormati adat istiadat suatu wilayah atau negara yang dikunjungi.
Hening memberi contoh, ketika wisatawan asing didampingi pemandu wisata, dan pemandu wisata memberikan pelayanan terbaik, maka wisatawan akan merasa di atas angin.
Sangat mungkin juga ada perasaan, karena memiliki uang, maka seorang wisatawan merasa lebih unggul dibanding penduduk setempat.
"Ketika di Bali dan berada di lingkungan yang seharusnya dihormati, dia akan merasa sanggup untuk tidak menghormati. Ini berarti, dari dalam diri orang tersebut memang tidak ada niatan untuk menghargai adat istiadat dan budaya di negeri yang dikunjungi. Jadi memang niat," jelas Hening.
Baca juga: Kasus Viral Turis Asing Lecehkan Air Suci dan Refleksi Pariwisata Bali
Hening berkata, ketika pemandu wisata tidak tegas saat mendampingi wisatawan asing, maka para turis sangat mampu bertindak seenaknya sendiri.
Agar peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi, setidaknya harus ada kebijakan baru dan sikap yang lebih tegas dari pemerintah dan masyarakat.
"Kita boleh mengiklankan pariwisata. Dengan catatan, kalau hal seperti ini terjadi (video viral), kita harus tegas. Jadi memang harus di-training sampai ke bawah, termasuk guide dan sebagainya," tegas Hening.
"Kalau sudah ada pelanggaran seperti itu, kita harus tegas dan lugas. Dalam artian untuk shock therapy ke bule kurang ajar itu."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.